388cash388cash

Cerita Sex Ngesex Hot Di Tengah Hujan


langit semakin gelap, mendung yg menggantung menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Pakde Yono menyuruh Tari membenahi ceret air dan rantang makanannya kemudian mereka segera bergegas pulang sebelum hujan turun. Tari adalah istri Iding keponakan Pakde Yono yg sejak kecil ikut Pakde-nya. Pakde Yono ini adalah kakak bapaknya yg tdk mempunyai anak sendiri. Dan sesudah menikah pasangan itu tetap mengikuti Pakde-nya yg sangat sayang pada keponakannya.

Sehari-hari mereka bahu membahu untuk mencari sesuap nasi membantu Pakde Yono di sawah atau Budenya yg buka warung kecil-kecilan di rumahnya. Seperti biasanya menjelang siang Tari mengantarkan makanan dan minuman Pakde-nya yg kerja di sawah. Hari itu kebetulan Iding pergi ke kota untuk membeli pupuk dan bibit tanaman.

Rupanya hujan keburu turun sementara mereka masih di tengah hamparan sawah desa yg sangat luas itu. Hujan ini luar biasa lebatnya. Disertai dgn angin yg menggoyang keras dan nyaris merubuhkan pohon-pohon di sawah hujan kali ini sungguh luar biasa besarnya.-cerita dewasa terbaru- Sebagai petani yg telah terbiasa denagn kejadian semacam ini dgn enteng Pakde Yono membabat daun pisang yg lebar untuk mereka gunakan sebagai payung guna sedikit mengurangi terpaan air hujan yg jatuh di wajah mereka yg menghambat pandangan mata.

Sambil memanggul cangkulnya Pakde Yono merangkul bahu Tari erat-erat agar payung daun pisangnya benar-benar bisa melindungi mereka berdua. Tari merasakan kehangatan tubuh Pakde-nya. Demikian pula Pakde Yono merasakan kehangatan tubuh Tari yg istri keponakannya itu. Jalan pematang langsung menjadi licin sehingga mereka berdua tdk bisa bergerak cepat. Sementara pelukan mereka jg bertambah erat karena Pakde Yono khawatir Tari jatuh dari pematang. Kadang-kadang terjadi pergantian, satu saat Tari yg memeluki pinggang Pakde-nya. Tiba-tiba ada “setan lewat” yg melihat mereka dan langsung menyambar ke duanya.

Saat Pakde Yono memeluk bahu Tari tanpa sengaja beberapa kali menyentuh payudaranya. Pada awalnya hal itu tdk mempengaruhi Pakde, tetapi hawa dingin yg menyertai hujan itu ternyata mendatangkan gelisah di hatinya.

Kegelisahan yg bisa merubah perasaannya. Saat pertama kali Pakde Yono tanpa sengaja menyentuh payudara istri keponakannya dia agak kaget, khawatir Tari menganggap dirinya berlaku tdk sopan.
Tetapi saat yg kedua kali dan kemudian dgn sadar menyentuhnya kembali untuk yg ketiga kalinya dia tdk melihat adanya reaksi menolak dari Tari, pikiran Pakde mulai dirasuki “setan lewat” tadi. Dan pelan-pelan tetapi pasti penis di balik kolornya mulai menghangat dan bangun. Toh rasa ke-imanan Pakde Yono masih berusaha bilang “jangan” walaupun tak bisa dipungkiri bahwa dalam hatinya dia mengharapkan sesuatu keajaiban, mungkin semacam sinyal, yg datang dari Tari.
Demikian pula Tari yg merasakan beberapa kali payudaranya tersentuh, pada awalnya dia tdk sepenuhnya menyadari. Tetapi saat tersentuh untuk yg kedua kalinya dia mulai mengingat sentuhan yg sama yg sering dilakukan oleh suaminya Iding. Biasanya kalau Iding menyentuh macam itu pasti ada maunya. Pikiran lugu Tari langsung disambar “setan lewat” lagi.
Adakah macam kemauan suaminya itu jg melanda kemauan Pakde-nya di hari hujan yg lebat dan dingin ini? Tetapi sebagaimana Pakde Yono, Tari jg berusaha menepis pikiran buruknya dan berkata dalam hatinya “nggak mungkin, ah”. Walaupun dibalik sanggahannya sendiri itu bersemi di hati kecilnya, akankah datang sebuah keajaiban yg membuat tangan Pakde-nya menyentuh payudaranya lagi? Maka, ketika pelukkan Pakde Yono pada bahu Tari yg semakin mengetat dan menyebabkan sentuhan ke tiga benar-benar hadir, hal itu sdh merupakan awal kemenangan sang “setan lewat” tadi.
Demikian pula saat hujan yg semakin lebat dan jalan yg semakin licin hingga mengharuskan mereka menyesuaikan dan mengganti posisi pelukan agar tdk jatuh dari pematang, pelukan Tari dari arah punggung pada pinggang dan dada Pakde-nya mendorong lajunya bisikkan “setan lewat” tadi. Payudara Tari yg kenyal menempel hangat di punggung dan tangan halus Tari yg menyentuh perut dan dada, membuat penis Pakde-nya benar-benar tdk tahu diri. Keras mencuat ke depan seperti cengkal kayu yg menonjol pada sarung anak yg disunat. Untung Tari berada di belakangnya sehingga gangguan teknis itu tdk terlihat olehnya. Pakde Yono mulai mencari-cari apa jalan keluarnya?
Demikian pula yg dirasakan Tari saat memeluki Pakde-nya dari belakang. Tangannya yg ketat memeluk perut dan dada Pakde-nya membuat buah dadanya demikian gatal saat tergosok-gosok punggung Pakde yg tdk mungkin terdiam karena setiap langkah kaki Pakde-nya pasti akan menggoncang seluruh bagian-bagian tubuhnya. Kegatalan macam itu menjadi terasa nikmat saat Tari mengingat bagaimana Iding suaminya sering menggosokkan wajahnya ke payudaranya. Mudah-mudahan Pakde-nya tdk keberatan dgn pelukannya, demikian pikiran lugu Tari.
Kemudian sang “setan lewat” kembali membisikkan ke dalam pikirannya, mudah-mudahan rumahnya semakin menjauh dan hujannya semakin lebat, yg disusul dgn seringai gigi taringnya karena gembira melihat usahanya telah meraih kemenangannya secara mutlak. Sekarang tinggal menggiring Pakde yono dan keponakkan mantunya ini menuju ke ke sentuhan setannya yg terakhir.
Hujan yg demikian hebat ini membuat jam dua siang hari bolong itu gelap serasa menjelang maghrib. Awan gelap masih memenuhi langit. Dan lebih seram lagi kilat dan petir ikut menyambar-nyambar. Pikiran Pakde Yono dan Tari sekarang adalah mencari tempat berteduh. Pakde Yono tdk kehilangan arah. Dia tahu persis kini berada di petak sawah milik Parjan tetangganya. Kalau dia belok sedikit ke kanan dia akan menjumpai dangau untuk berteduh. Dan benar, begitu Pakde Yono yg dalam pelukan Tari belok kekanan nampak bayangan kehitaman berdiri tegak di depan jalannya. Mereka berdua memutuskan untuk berhenti dulu menunggu hujan sedikit reda.
Tari bisa menurunkan beban gendongannya ke amben bambu yg ada di situ. Kini mereka saling memandang. Tari memandang kaos oblong Pakde-nya yg basah kuyup lengket di tubuhnya dan menunjukkan bayangan dadanya yg gempal berotot. Sementara Pakde Yono melihat kebaya dan kain di tubuh Tari yg istri keponakannya basah kuyup dan membuat bayangan tubuhnya yg sintal dgn payudaranya yg menggembung ke depan. Dgn setengah mati Pakde Yono berusaha menyembunyikan tonjolan penisnya pada celana kolornya.
Pakde Yono memperkirakan jarak dangau itu ke dusunnya kira-kira “se-udut”-an, sebuah perhitungan yg biasa dipakai orang desa mengenai jarak dekat atau jauh diukur dari sebatang rokok yg dinyalakan (dihisap). Mungkin sekitar 6 s/d 8 menit orang jalan kaki. Sementara itu tak bisa diharapkan akan ada orang lewat sawah ini dalam keadaan hujan macam begini. Pandangan mata secara jelas ke depan tdk lebih dari 5 meter, selebihnya kabut hujan yg menyelimuti seluruh hamparan sawah itu.
Dalam usaha menghindar percikan hujan di dangau Pakde Yono dan Tari harus duduk meringkuk ketengah amben yg relatip sangat sempit yg tersedia. Artinya seluruh anggota tubuh harus naik ke amben sehingga mau tdk mau mereka harus kembali berhimpitan. Dan sang “setan lewat” kembali hadir menawarkan berbagai pertimbangan dan keputusan.
Tari yg ditimpa hujan dan hawa dingin menggigil. Demikian jg Pakde Yono. Untuk menunjukkan rasa iba pada istri keponakannya Pakde meraih pundak Tari dan membagikan kehangatan tubuhnya. Dan untuk menghormati maksud baik Pakde-nya Tari menyenderkan kepalanya pada dadanya. Walaupun pakaian mereka serba basah tetapi saat tubuh-tubuh mereka nempel kehangatan itu terjadi jg. Dan pelukan yg ini sdh berbeda dgn pelukan saat awal Pakde Yono membagi payung daun pisangnya tadi. Pelukan yg sekarang ini sdh terkontaminasi secara akumulatip oleh campur tangan sang “setan lewat” tadi.
Saat kepala Tari terasa pasrah bersender pada dada, jantung Pakde Yono langsung tdk berjalan normal. Dan tonjolan di celananya membuat susah memposisikan duduknya. Demikian pula bagi Tari. Saat Pakde-nya meraih bahunya untuk memberikan kehangatan pada tubuhnya dia merasakan seakan Iding yg meraihnya. Dgn wajahnya yg mendongak pasrah menatap ke wajah Pakde-nya Tari semakin menggigil hingga kedengaran giginya yg gemelutuk beradu. Dan inilah saatnya “sang setan” lewat melemparkan bisikan racunnya yg terakhir kepada Pakde Yono.
“Ambil!, Ambil!, Ambil!, Ambil!”, dan Pakde tahu persis maksudnya.
Seperti bunga layu yg jatuh dari tangkainya, wajah Pakde Yono langsung jatuh merunduk. Bibirnya menjemput bibir Tari yg istri keponakkannya itu. Dan desah-desah lembut dari dua insan manusia itu, membuat seluruh rasa dingin dari baju yg basah dan tiupan angin menderu akibat hujan lebat itu musnah seketika dari persada Pakde Yono maupun persada Tari. Mereka kini saling melumat. Sang “setan lewat” cepat berlalu untuk menghadap atasannya dgn laporan bahwa otomatisasi setannya sdh ditinggal dan terpasang dalam posisi “ON” pada setiap dada korbannya. Kini dia berhak menerima bintang kehormatan para setan.
Dan lumatan lembut menjadi pagutan liar. Kini lidah dan bibir mereka saling berebut jilatan, isepan dan kecupan. Dan bukan hanya sebatas bibir. Jilatan, isepan dan kecupan itu merambah dan menghujan ke segala arah. Keduanya menggelinjang dalam gelombang dahsyat birahi. Tari menggeliatkan tubuhnya minta agar Pakde-nya cepat merangkulnya. Pakde Yono sendiri langsung memeluki dada Tari. Wajahnya merangsek buah dadanya. Dikenyotnya baju basah penutup buah dadanya. Tari langsung mengerang keras-keras mengalahkan suara hujan. Kaki-kakinya menginjak tepian amben sebagai tumpuan untuk mengangkat-angkat pantatnya sebagai sinyal untuk Pakde-nya bahwa dia sdh menunggu tindak lanjut operasi cepat Pakde-nya.
Pakde Yono memang mau segalanya berjalan cepat. Waktu mereka tdk banyak. Segalanya harus bisa diraih sebelum hujan reda. Dan operasi ini tdk memerlukan prosedur formal. Kain penutup tubuh Tari cukup dia singkap dgn tangannya hingga ke pinggang. Nonok Tari yg menggembung nampak sangat ranum dalam bayangan jembutnya yg lembut tipis. Kelentitnya nampak ngaceng mengeras menunggu lumatan lidahnya. Tak ada yg ditunggu, wajah Pakde Yono langsung merangsek ke kemaluan ranum itu. Bibir dan lidahnya melumat dan menghisap seluruh perangkat kemaluan itu.
Tangan Tari menangkap kepala Pakdenya, menekannya agar lumatan dan jilatan Pakde-nya lebih meruyak masuk ke dalam memeknya. Cairan birahi yg asin hangat bercampur dgn air hujan dia sedot dan telan untuk membasahi kerongkongannya yg kering kehausan. Itil Tari dia lumat dan gigit dgn sepenuh gemasnya. Tekanan Tari pada kepalanya berubah jadi jambakkan pada rambutnya. Pantat Tari terus naik-naik menjemput bibir dan lidah Pakde-nya. Tetapi Pakde Yono tdk akan mengikuti kemauan idealnya. Hitungan waktu mundurnya sdh dimulai.
Kini Pakde Yono yg sdh meninggalkan celana kolornya di rerumputan pematang merangkak ke atas dan memeluki tubuh basah hujan Tari. Penisnya berayun-ayun mencari sasarannya. Paha Tari yg hangat langsung menjepit tubuh Pakde-nya dgn nonoknya yg tepat terarah ke ujung penis Pakde Yono. Untuk langkah lanjutannya, mereka berdua, baik yg senior maupun yg yunior sdh terampil dgn sendirinya. Ujung penis Pakde Yono sdh tepat berada di lubang memek istri keponakannya. Mereka telah siap melakukan manuver akhir sambil menunggu hujan reda.
Dan saat mereka saling dorong, kemaluan Pakde Yono langsung amblas ditelan memek Tari. Sambil bibir-bibir mereka saling melumat, Pakde Yono mengayun dan Tari menggoyang. Penis dan memek Tari bertemu dalam kehangatan seksual birahi ruang luar, ditengah derasnya hujan, tiupan angin dan kilat serta petir yg menyambar-nyambar dgn disaksikan oleh segenap dangau yg lengkap dgn berisik ambennya, oleh belalang yg ikut berteduh di atapnya, oleh kodok yg bersuka ria menyambut hujan, oleh wereng yg berlindung di daunan padi yg sedang menguning, oleh baju-baju mereka yg basah dan lengket di badan.
Pakde Yono mempercepat ayunan penisnya pada lubang kemaluan Tari. Walaupun dia sangat kagum sekaligus merasai nikmat yg sangat dahsyat atas penetrasi penisnya pada lubang memek Tari yg serasa perawan itu, dia tetap “concern” dgn waktu. Tari yg menikmati legitnya penis Pakde-nya menggelinjang dgn hebatnya. Dia jg ingin selekasnya meraih orgasmenya. Genjotan penis Pakde-nya yg semakin cepat pada kemaluannya mempercepat dorongan untuk orgasmenya.
Kini dia merasakan segalanya telah siap berada di ujung perjalanan. Dan dgn jambakan tangannya pada rambut Pakde Yono, bak kuda betina yg lepas dari kandangnya Tari memacu seluruh saraf-saraf pekanya. Kedua kakinya dia jejakkan keras-keras pada tepian amben dangau hingga pantatnya terangkat tinggi untuk menelan seluruh batang penis Pakde Yono dan datanglah malaikat nikmat merangkum seluruh otot, daging dan tulang belulang Tari. Cairan birahi Tari muncrat melebihi derasnya hujan siang itu. Terus muncrat-muncrat yg diikuti dgn pantatnya yg terus naik-naik menjemputi penis Pakde Yono yg jg terus mempercepat sodokkannya untuk mengejar kesempatan meraih orgasme secara berbarengan dgn orgasme Tari.
Dan pada saat puncratan cairan memek Tari mulai surut penis Pakde Yono yg masih kencang mengayun memek Tari tiba-tiba berkedut keras. Kedutan besar pertama menumpahkan bermili-mili liter air mani yg kental lengket dari kantong spermanya. Dan kedutan berikutnya merupakan kedutan pengiring yg menguras habis kandungan sperma dari kantongnya.
Sesaat kemudian bersamaan dgn surutnya hujan mereka berdua Pakde Yono dan Tari yg istri keponakannya terengah-engah dan rebah. Amben dangau itu nyaris terbongkar. Bambu-bambunya ada yg lepas terjatuh. Mereka kini kegerahan dalam dinginnya sisa hujan. Keringat mereka bercucuran rancu dgn air hujan yg membasahi sebelumnya. Pakde Yono dan Tari telah meraih kepuasan yg sangat dahsyat.
Pelan-pelan mereka bangkit dari amben dan turun ke pematang kembali. Tari membetulkan letak kain dan kebayanya. Pakde Yono memakai celana kolornya yg basah jatuh di pematang dan kembali meraih cangkulnya. Langit yg cepat cerah kembali nampak biru dgn sisa awan yg berarak menyingkir. Pohon kelapa di dusunnya nampak melambai-lambai menanti kepulangannya.
Tari dan Pakde Yono yakin bahwa Bude maupun Iding pasti cemas pada mereka yg tertahan hujan ini. Pakde sdh membayangkan pasti istrinya telah memasak air untuk kopinya lengkap dgn singkong bakar kesukaannya. Dan dalam bayangan Tari, Iding pasti telah sangat merindukannya untuk bercumbu di siang hari. Suara kodok di sawah mengantarkan mereka pulang ke rumahnya.
Share: