388cash388cash

Cerita Sex : Late Hours


“Gentlemen, this is Yulita, our new creative director,” kata Mr. Jansen, chief executive media menawarkan cewek semampai bersetelan jas pantalon resmi di sisinya. Si cewek tersenyum kecil pada kami. Arogan amat! Makiku dalam hati. Dirinya ngoceh dalam bahasa Inggris pada Mr. Jansen yang menunjukkan mejanya, persis di seberang mejaku. Si Yuli melirik sekilas padaku, angkuh. “I’ll use my own laptop,” katanya, seakan meragukan kapasitas deretan Macintosh biro iklan kami. Dari balik monitorku sesekali kutengok ia. Tidak cantik amat, tapi.. apa ya? Chic? Sensual? Bibirnya itu lho! Terpikir olehku, bagaimana rasanya.

Seharian si Yuli duduk di depanku, ia nyaris tidak bersuara. Suaranya yang rendah itu dihematnya untuk bicara soal pekerjaan saja. Selebihnya, sepi! Tidak kenalan, tidak “say hi”. Pokoknya duduk diam dan asyik mengetik dan ceklak-ceklik dengan mouse-nya. Saat makan siang pun Yuli makan dengan diam-diam. Seloroh-seloroh nakal (bahkan bejat) yang tidak jarang dilontarkan kawan-kawan paling-paling ditanggapinya dengan membawa aspek bibirnya saja. Berakhir makan siang, kami yang mayoritas laki-laki merokok, kecuali Endah, front-officer merangkap sekretaris dan Bu Sintha, kepala divisi marketing, dan Ratri tahap rumah tangga merangkap perpustakaan. Si Yuli merogoh Marlboro Light dan Zippo dari sakunya. Busyet! Kosmopolitan, nih! Hingga dua bulanan berikutnya si Yuli tetap semacam gunung es. Dingin, diam, tanpa basa-basi. Ia bekerja dengan efisiensi ala bule yang terbukti diingini Mr. Jansen dan para klien. Soal directing materi iklan dan mengkoordinir para sutradara production house dirinya terbukti jago. Ia juga betah kerja lama, workaholic!
Suatu ketika biro kami ketiban pulung. Ada perusahaan softdrink besar yang mengandalkan penggarapan materi iklannya pada kami, untuk semua tipe media, selagi 12 bulan. Kami kerja mati-matian dan praktis lembur tiap hari. Semacam biasa si Yuli paling ampuh bersi kukuh. Sebuahmalam, akhirnya kawan-kawan yang telah begadang empat malam mana tahan juga, satu per satu pamit pulang duluan. Tinggal Yuli dan aku yang tetap bersi kukuh. Kebetulan kami sama-sama lajang dan aku senior-art-designer, wajib terus berkoordinasi dengannya. Sunyi menyiksaku. Dengan otak mampet begini, mana dapat ide cemerlang muncul.
“Yul, nggak capek?” kucoba berkomunikasi dengannya.
Ia membawa muka dari laptop-nya. Ia tampak curiga dan pasang kuda-kuda.
“Mmm, ya ginilah,” sahutnya pendek.
“Boleh nggak, konsultasi di luar job?” tanyaku.
“Hmm?” ia menyulut rokoknya.
Kucoba bercerita mengenai Susan, pacarku. Ia tertawa saja.
“Kalau ‘jam terbang’-mu bagaimana?” pancingku.
“Menurutmu gimana?” tanyanya balik sambil menatapku lurus-lurus.
“Yaah, kalian keliatannya nggak butuh cowok, tuh?”
Ia tersenyum.
“Butuh sih butuh, tapi aku nggak suka terikat.”
“Jujur, ni ye,” ledekku.
“Iya dong. Nggak kayak kamu,” katanya.
Wah, apa nih?
“Aku kenal betul tatapan mata semacam itu,” ia menudingku.
“Aku tahu apa aja yang biasa kau lihat dari situ, aku juga dapat menebak apa yang ada dalam otak kreatifmu itu..” sindirnya sambil tersenyum.
Darahku mulai berdesir.
“Apa coba yang aku pikir?” ego maskulinku tertantang.
Yuli menyisihkan laptop-nya.
“Gini. I like her. Aku pikir cewek ini lain, gimana ya rasanya have sex dengannya..” katanya ringan meramal pikiranku.
Aku nyaris tersedak asap rokokku. Kutatap dia. Dengan tenang ia balas memandang. Tanpa malu-malu. Testoteron dan adrenalin-ku berpacu. Dirinya jelas-jelas memancing. Gobloknya aku!
“Kamu mau?” tanyaku lugas kepalang basah.
“Apa tetap tidak lebih jelas?” ia kembali balik bertanya.
Kuangkat bahuku walau dalam hati penasaran.
“Aku bahagia kerja denganmu, aku suka ide-idemu, suaramu, sikapmu. Pasti.. lumayan hangat melewatkan malam denganmu..” suaranya makin lama makin rendah.
Aku bangkit dan memadamkan rokokku. Kudatangi mejanya. Ia tetap tenang menantiku.
“Serius?” bisikku di hadapannya.
“Kita capek, dan butuh refreshing ‘kan?” jawabnya pelan.
Kujentik bibirnya. Ia menatapku tenang. Telunjukku kusapukan ke bibirnya. Ia diam. Saat sekali lagi kusentuh bibirnya, ujung lidahnya menyentuh telunjukku. Aku tidak sabar lagi. Ia kurengkuh dan kukulum bibirnya. Ia membalas pelukanku dan menyambut bibirku. Bibirnya yang lembut, kenyal dan hangat kulumat habis, lidahku menyusup di sela bibirnya. Dengan hangat ia menyambut lidahku. Kurapatkan tubuhnya ke tubuhku hingga payudaranya menekan dadaku. Kurasakan tubuhnya mengencang dan makin hangat dalam dekapanku. Bibir kami terus bertaut selagi berbagai saat. Sisa bau rokok di nafasnya makin mengobarkan gairahku sementara geliginya nakal menggigit kecil bibir dan lidahku.
“Great kiss..” bisiknya saat kulepaskan untuk bernapas. “You too..” Jemarinya mencengkam lenganku saat kususuri segi lehernya dengan bibirku. Ia gelisah sekali. Tarikan napasnya pendek-pendek dan tersendat. Saat lidahku menyapu cuping telinganya yang keren dan napasku menghembus tengkuknya ia mengeluh pelan sambil menggigit bibir sementara tangannya liar menggerayangi dada dan punggungku. Desahnya makin cepat saat ciumanku menuruni lekuk lehernya. Suhu ruangan yang ber-AC terasa makin gerah saja. Blusnya kurenggut dari pinggang pantalonnya. Tanganku memperoleh pinggangnya yang mulus, hangat dan liat. Kedua belah tangannya melingkar menahan tengkukku saat ia mengecupi bibirku. Sebelah tungkainya mulai naik melingkungi pinggangku. Dengan gugup ia meraih kancing bra-nya saat blusnya kulucuti. Dengan bertumpu pada segi meja, kuangkat Yuli dalam gendonganku. Mulutku memperoleh pucuk-pucuk buah dadanya yang coklat muda kemerahan dan dengan gemas kunikmati. Sementara kuremasi pantatnya.
“Aryo.. Aryo..” desisnya. Sembarangan ia mencoba membuka hem-ku, dua biji kancing lepas saat tidak sabar ia luar biasanya. Ia merosot dari gendonganku, dengan jemari bergetar ia berusaha membuka gesper ikat pinggangku. Tidak sukses. Tangannya beralih merabai selangkanganku, padahal tanpa dirabainya pun aku telah “hard on” dari tadi. Tiba-tiba ia berlutut dan membuka ritsleting-ku dengan giginya. Dengan sukarela kubuka gesperku sebab jeans-ku terasa makin sempit oleh kelaminku yang menggembung. Celana itu segera ditarik turun hingga lepas lengkap dengan celana dalamku. Yuli menyambut ujung kemaluanku dengan mulutnya sementara paha dan pantatku habis diremasinya. “Aaahh!” tubuhku serasa dijalari arus listips. Yuli agaknya sangatlah tahu tutorial membikin laki-laki meniti “ekstase”. Lidahnya menyusuri batang kemaluanku hingga ke pangkal zakar. Sulit payah kujaga keseimbanganku supaya tidak terjatuh tiap kali kepala kemaluanku dihisapnya. Tubuh dan lengan Yuli serasa berkobar sementara telapak tangannya dingin dan lembab. Peluh menitik di pelipisnya. Makin lama makin rapat ia mengulum “anu”-ku. Sebelah kakiku dikepitnya di sela paha hingga tahap kewanitaannya menggeser kakiku.
Aku tidak tahan lagi. Setengah paksa kulepas ia. Pipinya merona, rambutnya acak-acakan, bibirnya memerah dan basah oleh liur. Tubuhnya sedikit menggigil. Ia kelihatan makin seksi. Begitu pantalonnya merosot saat kubuka dan ia melepas celana dalamnya, tubuhnya kuangkat dan kusandarkan ke dinding. Kedua tungkainya ketat melilit pinggangku. Desahnya tertahan saat batang kemaluanku mulai memasuki liangnya. Geliginya terkatup rapat menahan bibir. Kukulum bibirnya dan lidahku masuk ke rongga mulutnya. “Mhh!” jeritnya tertahan bibirku, saat kujejalkan seluruh batang kemaluanku ke lubang kemaluannya yang kesat dan hangat. “Hhh..” ia menggelinjang, menggeliat berusaha meronta dari pelukanku saat kugerakkan panggulku jadi organku menggeser dinding dalam liangnya yang menyempit merapati kemaluanku.
Terus ia memekik dan otot-ototnya berusaha mendorong batang kemaluanku, makin keras dan dalam kudesak ia. Kubiarkan ia menggigit bahuku untuk melampiaskan segala yang dirasainya hingga akhirnya ia mulai mengikuti irama shake up-ku. Hangat nafasnya menyapu wajahku. Peluh mengembun di sekujur tubuh kami walau suhu AC 17ยบ C pada dinihari itu. Yuli mengusap peluh di wajahku dan meniupiku. Tiba-tiba jepitan tungkainya di pinggangku mengetat, denyutan liangnya pun makin hebat. Yuli mengatupkan giginya, panggulnya melampai menyambut setiap desakanku, pelukannya pindah ke panggulku seakan menuntutku lebih dalam pada setiap goyangan. Lubang kemaluannya saat ini lembab dan licin oleh cairan kewanitaannya. Kudekap ia erat-erat. Akhirnya sebelah kaki Yuli turun dari pinggangku saat ia mencapai orgasme. Dahinya tersandar di bahuku. Buru-buru ia kubawa ke kursi terdekat. Gaya knee-trembler begini betul-betul menuntut stamina ekstra.
Di kursi, Yuli duduk di pangkuanku dan mulai pulih dari orgasmenya. Semacam biasa ia menatapku terang-terangan. Ujung-ujung jarinya menyusuri wajahku. Menyibak rambut yang menutupi dahiku, mengikuti bentuk alisku, menuruni hidungku, menyapu kumisku dan merabai bibirku. Aku merasa semacam mainan. Saat telunjuknya menyentuh bibir bawahku, kutangkap tangannya dan kugigit telunjuknya. Ia memekik dan tertawa, suara tawanya merdu. Ia menunduk padaku sambil menjulurkan ujung lidahnya ke depan bibirku. Pasti saja kusambut godaannya itu untuk sekian kalinya, lidah merah jambu itu kutarik ke mulutku dan kukulum, sementara buah dadanya yang kenyal menekan dadaku yang terbuka. Jantungku serasa berdetak di telinga. Kuusap kedua gumpalan indah di dadanya itu sembari bibir kami terus beradu. Tangannya menjangkau tanganku dan membawanya merabai gunung kembar itu dengan tutorial yang disukainya. Ia bahkan membiarkanku meremasnya.
Darahku serasa naik hingga ke kepala. Aku telah tidak tahan lagi. Kupegang panggulnya dan kudesak ia berbagai kali maju mundur. Ia sesekali meringis dan mendesis sebab gerakan itu, tapi tiap kali kelaminku menyodoki kemaluannya, tiap kali itu pula ia memajukan panggulnya hingga rasanya aku masuk makin dalam dan liangnya jadi makin sempit sebab kontraksi. “Yo..” rintihnya sambil berpegangan erat pada tepi meja saat kupaksa anuku masuk lebih dalam lagi. Tiap kali ia mengeluh, terbuktigilku, aku jadi makin semangat. Bagaikan kesetanan (mungkin terbukti kesetanan) tubuhnya tidak lebihkul, kuciumi bibir, leher dan dadanya dan kutahan panggulnya kuat-kuat saat semenku menyembur ke liangnya. Gelenyar nikmat menjalari setiap titik syaraf di tubuhku.
Yuli berkaca-kaca, segaris air mata membasahi pipi kirinya. “Sakit?” tanyaku. Ia menggeleng dan merebahkan tubuh ke dadaku. Tanganku diraih dan diletakkannya di pipinya. Saat itu baru kusadar alangkah putih kulitnya dibanding kulit sawo matang gelapku. Kukecup dahinya. Ia makin merapat padaku berusaha menghangati tubuh telanjangnya dari suhu AC yang menggigit.
“Berapa lama telah?” tanyaku seusai berbagai saat berdiam diri.
“Maksudmu?”
“Ini bukan pertama kalinya ‘kan?” tebakku.
“Kapan terbaru kalian meperbuatnya?”
“Apa itu butuh?”
“Ingin tahu saja.”
Ia menghela napas.
“Aku tidak segampangan yang kau sangka.”
“Jelas. Tapi boleh dong aku tahu, aku ini nomer berapamu?” rajukku.
Yuli menghela nafas dan menatapku lurus-lurus. Ia membawa dua jarinya di depan hidungku. “Masa, sih?” tanyaku tidak percaya sekaligus bangga.
“Buat apa aku bohong?” katanya sambil berbalik memunggungiku lalu meraih wadah rokok dan pematikku, disulutnya sebatang.
“Siapa yang pertama, pacarmu, kawan di kantor lama, atau.. suamimu?” selidikku.
“Bukan urusanmu,” gumamnya.
Asap rokok dihembus kuat-kuat. Kuambil rokoknya. Kuciumi bibirnya.
“Sorry, cuma penasaran aja. Jangan-jangan kau kegemaran meniduri kolega,” ia tertawa.
“Sembarangan. Nggak lah. Mungkin kami tepat aja.”
Ia menggeser mouse-ku dan mengklik ikon Winamp. Sesaat kemudian Get Lost in Your Eyes-nya Debbie Gibson mengalun.
“Tepat, gimana?” kusibak rambut yang menutupi tengkuknya dan kuciumi belakang lehernya.
“Mmm.. kamu.. kreatif..” jawabnya.
Ciumanku menjalar ke punggung, bahu dan pipinya.
“Jelas dong. Senior Art Designer! Tapi masa cuma kreatif aja, nggak ada lainnya?” tuntutku di telinganya.
Aku mulai panas dingin lagi.
“Lho, jarang lho cowok kreatif soal making love,” tegasnya.
“Mhhm. Kalau cowokmu dulu.. gimana?” kejarku.
Ia langsung berbalik dan menyumbat mulutku dengan ciuman.
“Jangan ngomong soal orang itu, ah!” tolaknya.
“OK. soal kami saja, ya.”
Kami mulai bercumbu lagi. Semacam tadi, ia menggerayangiku ke mana-mana sementara lidahnya bermain di kedua putingku. Tiba-tiba tangannya meluncur turun merabai perutku, menyusuri rambut singkat yang tumbuh mulai bawah pusar hingga ke pangkal batang kemaluanku. Lalu ia mulai menjahili kelaminku yang setengah ereksi. Betul-betul bikin penasaran. Cuma telunjuknya saja yang ke sana kemari merambah batang kemaluan hingga kantung zakar. “Shake me,” kataku. Ia ragu-ragu. Kugenggamkan tangannya ke kelaminku. Ia langsung melepaskannya. “Please,” pintaku. Sekali lagi kubawa tangannya ke sana. Ia menekanku lembut. “Sakit nggak?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia mulai mengurutku. Amboi! Si kecil langsung menegang penuh. Yuli menghela nafas dan merapatkan tubuhnya padaku. Kuangkat ia ke meja poster di sebelah mejaku. Lembar-lembar storyboard, disain poster, kepingan negative slide dan sebuah asbak penuh puntung kusapu begitu saja saat kami menaiki meja.
Babak kedua dimulai. Berada dalam tindihan tubuhku, Yulita begitu penurut dan mesra. Ah, seandainya ia juga begini saat kami mengolah iklan. Ia seakan tahu apa yang kuinginkan dan membiarkan aku berbuat semauku. Dinding keramik ruang kerja kami memantulkan bayangan tubuh kami yang saling merapat, persis semacam lambang Yin-Yang. Desah Yuli makin jelas. Walau Yuli menyambut semua ciumanku dengan hangat dan membawa tanganku kemana-mana menyusuri tubuhnya, “gerbang selatan”-nya tidak seramah si pemilik. Tiap kali kuayun panggulku supaya “tongkat”-ku masuk lebih dalam, “terowongan” yang tersembunyi di balik hutan kecil itu melawan habis-habisan. Makin kugoyang, makin sempit saja rasanya. Di antara jepitan-jepitannya yang heboh, otot liang Yuli sesekali bergerak memutar batangku. Ooh, dimana anak ini belajar jurus begituan?! Aku pernah kelabakan juga untuk mengimbanginya. Untung, Yuli sendiri agaknya tidak lumayan kuat menahan orgasmenya.
Tak lama kemudian liangnya membasah dan makin licin. Runtuh juga akhirnya pertahanan yang gigih itu. Dengan semangat juang berkobar aku mulai memompa kuat-kuat. Darahku rasanya berdesir-desir di ubun-ubun sebab Yuli tetap berusaha meperbuat perlawanan terbaru walau telah basah kuyup. Batang kemaluanku rasanya semacam dipijat maju mundur oleh lubang yang penuh dilumasi cairan kewanitaan. Yuli mulai terengah-engah lagi. Jemarinya yang berkuku singkat mulai ngawur mencakari bahuku. Kutangkap kedua tangan mungilnya, kubawa ke atas kepalanya dan kutindih dengan lenganku.
“Jangan galak-galak, dong,” bisikku di telinganya.
“S.. sori, aku nggak tahan..” sahutnya di sambil hebat nafas.
“Nggak tahan ini ya..” kuayun panggulku perlahan hingga kemaluanku bergerak dalam liangnya.
“Ngghh..!” pekiknya sambil menggeliat.
Pahanya langsung mengencang mengepit pinggangku.
“Yo, lepasin dong!” rengeknya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Nggak enak, nggak dapat peluk kamu.”
“Asal janji nggak main cakar, perih nih..” tawarku.
Ia mengangguk. Begitu kulepas, ia langsung mengusap bahuku.
“Mana yang perih, ooh, ini ya? Kaciyaann..” ledeknya sebelum mengecupi lecet bekas kukunya itu.
Mau tidak mau aku tertawa juga menonton ulahnya. Jeda sesaat itu nyatanya justru mengobarkan klimaks yang tertunda sebab cakaran Yuli. Tetap tertawa-tawa, kuteruskan pompaan ke “jalan bahagia” Yuli yang telah banjir deras. Yuli memekik tertahan-tahan setiap kali aku menggoyangnya. Ia menggeliat, menggelinjang tidak karuan dalam tindihanku, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya merapat erat.
“Te.. rus.. Yo, teruss..” desahnya meracau.
“Tahan Yul, sedikit lagi..” bujukku pada Yuli yang telah mabuk orgasme.
Dengan sabar dan lembut Yuli mengulum bibirku, merabai dadaku, melarikan jemarinya ke tengkuk dan pangkal telinga dan mengusapi rambutku hingga akhirnya “meriam”-ku meletus habis-habisan dalam liangnya.
Bukan Yulita namanya kalau tidak penuh kejutan. Tidak lebih dari sepuluh menit seusai kami berakhir, ia telah merosot turun dari meja poster dan memunguti bajunya yang terserak di lantai dan mejaku, sementara aku tetap melayang-layang menikmati sensasi.
“Telah jam empat, kerjaan belum berakhir,” katanya.
“Aku mandi dulu.”
Hilang telah Yulita yang hangat dan merajuk manja. Saat ini kembali kulihat creative director yang dingin dan manjur.
Hampir sejam Yulita di kamar mandi, ia timbul dalam keadaan wangi dan berbaju bersih. Rambut lurusnya basah bekas keramas. Sisa air tetap menetes-netes di ujung rambutnya.
“Coba kau lihat ini, bagaimana kalau disainnya kami buat begini..” panggilku.
Selama ia mandi aku sukses menyelesaikan rancangan storyboard mutlak berkah pikiran yang telah jernih.
“Ini keren,” katanya sambil menunduk memandangi disainku di layar komputer.
Entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa ia milikku dan jangan hingga kawan sekantor lainnya mendekatinya.
“Udah, kalian mandi dulu gih, clean-up-nya biar aku yang rapiin,” katanya dengan nada tidak mau dibantah.
Hari ini dengan bahagia hati aku menuselaluya. Saat office boy datang pukul 06:00, disain untuk presentasi internal telah berakhir seluruhnya, kami juga telah merapikan meja poster yang semalam jadi arena pergumulan. Pukul 08:00 saat kawan-kawan datang, mereka cuma menonton creative director and senior art designer yang asyik berkutat dengan komputer masing-masing.
“Wah, hebat. Gimana nih berita pasangan Lapis Legit kita?” ledek Tigor si media planner.
“Sip!” kataku.
“Storyboard mutlak telah siap dipresentasikan.”
Tigor ternganga.
“Sialan. Kompak juga kalian,” makinya kemudian.
Pukul 09:30, briefing di mulai. Dengan dingin Yulita menerangkan pekerjaan kami, dan membagi peluang bicara untukku, tetapi tidak sekalipun ia memandangku. Entah apa yang dipikirkannya. Entah bagaimana kelanjutan hubungan kami nantinya.
Share: