388cash388cash

Musim Bokep : Panti Pijat Pemuas Syahwat


Aku bukan ingin menyaingi Mas Boedoet, Si Peliput Pijat yang telah malang melintang di dunia perpijatan itu. Dirinya terbukti “profesional”, sedangkan Aku cuma peselingkuh amatiran yang ingin pelayanan seks tidak hanya di rumah. Aku juga bukan orang kaya seperti Mas Boed yang dengan mudah mengeluarkan ratusan dollar untuk pelayanan pijat komplet.

Sex Panti Pijat | Aku hanya punya lembaran “Sokarno Hatta”, bukan George Washington! Tapi massage service yang Aku bisakan tadi malam (fresh from the oven, you know) sangatlah memuaskan jadi Aku butuh bagikan terhadap Anda. Cocoknya pelayanan “pijat plus plus” empat babak yang rada unik. Awalnya, info minim yang Aku bisakan dari seorang kawan yang tinggal di Jakarta mengenai massage service (lebih cocok dibilang sex service, sebetulnya) di sebuahtempat di Bandung (busyet, dirinya yang tinggal di Jakarta malah lebih tahu dari Aku, dasar Aku tetap hijau!)
“Namanya ‘xxx Message’, di jalan Otista, berseberangan dengan Pasar Baru, tarifnya seratusan sejam,” katanya.
“Keren engga cewe-cewenya?” tanyaku.
“Loe tahu kan selera gue? Pokoknya engga nyesel.” Dengan agak ragu (masa sih seratusan cewenya yahut?) akhirnya Aku meluncur juga ke sana.
Tak susah menemukan tempat ini.

Hanya jangan ke sana siang alias sore, macetnya minta ampun. Waktu yang ideal kurang lebih jam 7 malam, lalu lintas telah lancar serta belum tidak sedikit pelanggan lain jadi kami leluasa memilih “pemijat”. Dari depan tempat ini terbukti tidak menyolok, hanya pintu kaca yang terbuka sebelah. Dengan style yakin –sembari deg-degan– Aku langsung masuk, juga supaya tidak pernah ada yang mengetahuii di pinggir jalan raya ini. Di ruangan yang remang itu ada satu stel sofa yang diduduki 4-5 cewe yang berpakaian serba minim. Sejenak Aku menyapu pandangan, setengan bingung. Tapi hanya beberap detik. Salah satu dari mereka langsung bangkit dari duduknya begitu menontonku.
“Mau pijat Mas, Ayo!” Putih, berwajah mandarin, tingginya sedang,
“massa depan” (double “s” lho, istilahku untuk buah dada) besar dengan belahan yang terbuka jelas,
“massa belakang” yang menonjol ke belakang, rok supermini memamerkan sepasang paha putihnya yang juga… besar.
Hasil evaluasiku: cewe ini serba menonjol serta serba besar.
“Ayo Mas, lihat-lihat ke belakang,” ajaknya lagi ketika Aku tetap terpaku.

Digandengnya tanganku, dibawa melalui pintu kaca lagi di belakang ruangan itu. Kami melalui lorong lumayan panjang yang di kanan-kirinya tersedia pintu-pintu kamar semakin kebelakang. Pantat besarnya megal-megol seirama langkah kakinya. Hingga di ujung lorong, dirinya berhenti di depan jendela kaca nako.
“Silakan pilih,” katanya sambil menutup kaca nako itu.
Rupanya jendela ini tempat mengintip ke ruangan besar di baliknya. Kaca nako yang dilapisi “glass film” gelap memungkinkan Aku menonton leluasa ke ruangan besar itu tanpa dilihat penghuninya. Wow! Kawanku tidak berbohong. Di ruangan besar itu tidak sedikit berisi sofa serta diatasnya “tergeletak” belasan “ayam” yang sungguh membikinku menelan ludah berbagai kali. Tidak sedikit mereka duduk-duduk sambil nonton TV. Ada yang lagi ngobrol, ada yang berdiri di depan cermin mematut sertadanannya. Umumnya, model pakaian yang dikenakannya minim terbuka di dada serta paha. Bahkan cewe yang persis lurus pandanganku duduk acuh celdam putihnya “kemana-mana”.

Hanya berbagai saat di situ mataku telah menebar ke seluruh ruangan. Hasilnya, bingung! Semuanya menggiurkan. “Yang mana, Mas?” tanya pengawalku Si Serba Besar ini.
“Entar deh …”
“Si Anu pijitnya enak, Si Itu servicenya jago, Si Ini mainnya yahut ….” katanya berpromosi.
Aku tidak begitu mendengar ocehannya, lagi asyik meneliti satu persatu cewe-cewe itu buat menetapkan opsi tubuh yang pas dengan idolaku. Pijit, service, main?
“Servicenya apa aja?” akhirnya aku nanya ke Si Besar, tapi mataku tetap ke ruangan.
“Apa aja, terserah Mas aja. Di dalam kelak baru tahu,” katanya sok berteka-teki.
Pakaian yang mereka kenakan, terbuka dada serta paha, menolongku untuk lebih cepat menentukan opsi. Akhirnya Aku menetapkan 3 orang paling baik untuk di observasi lebih teliti. Yang bergaun coklat tua itu… hmmm… Wajahnya cantik, kulit bersih, paha mulus. Sayangnya, buah dadanya tidak begitu “menjanapabilan”.
Bukannya kecil sih, tetap punya belahan. Hanya Aku ingat pesan kawanku tadi.
“Pilih yang berdada besar,” katanya.
“Kenapa?”
“Gak usah tidak sedikit tanya, cobain aja.” Untungnya, seleraku terbukti dada yang berisi.

Yang bargaun hitam lebih seksi, body-nya menggitar, face-nya biasa-biasa aja. Dadanya? Hanya dirinya satu-satunya yang pake gaun menutupi dada tapi membuka kedua bahunya. Lumayan menonjol bulat, tapi jangan-jangan itu hanya model bra-nya. Bagiku, indikasi dada montok merupakan punya “belahan” alias tidak. Si gaun hitam ini belahannya tertutup. Yang ketiga, bergaun crem berbunga kecil, agaknya yang paling ideal. Tubuh lumayan tinggi, pinggang ramping paha bersih panjang, dadanya… wow! Dengan gaun model “kemben” (menutup separoh dada horisontal), buah dadanya seakan “tumpah”.

Kualitas plusnya lagi: berambut panjang lurus sepinggang. Tapi Aku tidak segera menyebut nomornya untuk dipesan. Aku tetap menebar pandangan lagi jangan-jangan ada yang lebih keren terlewat dari penelitianku.
“Sama saya aja Mas, kelak ‘dibody’ sebelum main, mau karaoke juga boleh,” kata pengawalku tiba-tiba.
Aku jadi berminat sama omongannya.
“Dibody?”
“Iya, body massage.” Body massage, karaoke, serta
“main”. Ehemmmm …!
“Semakin?”
“Pokoknya Mas ditanggung puas.
” Iya puas, tapi
“You aren’t my type” kataku, dalam hati pasti saja. Kamu mustinya “menjalankan diet ketat” supaya pinggangmu berbentuk.
“Kalo mereka service-nya sama gak?” tanyaku.
“Tergantung orangnya sih Mas.” Aku sejenak ragu.

Sama dirinya macam pelayanannya telah jelas, tapi tubuhnya tidak masuk seleraku. Pilih Si “Dada tumpah” pas dengan selera, tapi bentuk pelayanannya belum jelas. Aku kembali menebar pandangan. Rasanya Aku tidak menemukan “calon” lain sebaik Si Dada montok. Tapi Aku memperoleh info lain. Di pojok agak atas tertempel karton di dinding dengan tulisan:
“Mulai 1 Juli Rp. 150.000 sejam”.
“Pilih yang di dalam juga silakan, gak pa-pa,” katanya.
Kudengar ada sedikit nada sedihnya (Tolong Mas Wiro, pilih yang mana nih?)
“Kok gak ada tamu lain, sih?” tanyaku sekedar menetralkan.
“Baru jam 7 tetap sepi, entar malem rame,” jelasnya.
Tak ada pesaing begini memberiku kebebasan untuk berpikir sebelum memutuskan. Kamu jangan coba menimbang-nimbang begini kalau lagi ramai, bisa-bisa opsi Kamu disambar tamu lain. Akhirnya keputusanku bulat, pilih Si Kemben. Keputusan yang agak spekulatif sebetulnya. Tidak apalah, ini kan kedatangan pertama, hitung-hitung “belajar”. Kusebutkan nomornya pada si Besar ini.
“Yeeen, tamu,” teriaknya.

Si Rambut panjang bangkit serta menuju pintu. Ehem, aku tidak salah pilih. Dengan cara keseluruhan bentuk badannya oke. Tutorial jalannya mirip peragawati di catwalk, jadi sepasang buahnya berguncang berirama.
“Yeni,” katanya begitu dirinya timbul di pintu menyodorkan tangan.
Aku tambah yakin, dadanya sangatlah “menjanapabilan”. Yeni membimbingku menuju lorong. Tanganku langsung merangkul bahunya, bak sepasang pengantin yang menuju kamar bulan madu. Begitu Yeni menutup pintu kamar serta menguncinya, Aku menyerbu memeluknya. Mulutku langsung menuju belahan buah dadanya. Menciumi serta menggigit pelan.
“Eh… bentar dong Mas,” elaknya ramah.
Aku tidak peduli. Kupelorotkan kemben serta branya, bulatan buah dada kanannya langsung nongol. Bulat indah, tidak ada tanda-tanda turun mesikipun telah pasti tidak jarang dijamah orang. Kusemakinkan ciumanku di dadanya, hingga kemudian Aku “menyusu”.
“Mas ini gak sabaran ya?” Tidak ada nada marah, tetap ramah.
Pelukan kuperkuat, tangan kiriku turun meremas pantatnya.
“Sabar ya Mas…” katanya melepas pelukan.
Aku melepas tubuhnya.
“Pijit dulu aja,” sambungnya.
“Udah itu?”
“Mas maunya apa?” tantangnya.
“Maunya service yang memuaskan.” ”
Yang memuaskan yang gimana?”
“Body massage, karaoke, serta main,” serangku, meniru servis Si Besar tadi.

“Boleh. Buka baju dulu dong,” perintahnya.
“Bukain,” Aku balik memerintah.
“Hi… manja,” tapi tangannya bergerak membuka kancing kemejaku, lalu singletku, kemudian ikat pinggangku.
“Ih, udah keras,” katanya menggenggam penisku dari luar sebelum memelorotkan celanaku.
Yeni berhenti ketika tinggal celdamku saja.
“Buka semua dong,” pintaku.
“Gak ah, takut. Hi hi… Udah, mas tiduran deh, entar Yeni pijat dulu.” Aku merebahkan tubuhku ke kasur, terlentang.
Tanpa malu-malu Yeni melepas gaun serta kemudian bra-nya. Buah dadanya terbukti bulat serta besar. Mungkin terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang tinggi serta langsing. Aku memantau dadanya sambil tegang. Buah dada kanannya nyaris sempurna, bulat, besar, dengan puting coklat yang kecil. Tapi tidak simetris, buah kirinya agak turun, tidak bulat benar (Mas Wiro, umumnya buah dada terbukti tidak simetris ya, kanan kiri beda. Jawab ya?). Lalu menyambar handuk serta ke kamar mandi.
“Yeni mandi dulu ya Mas.”
“Ya, cepet ya.” Keluar dari kamar mandi Yeni berbalut handuk.
Yeni membuang handuknya, hanya berceldam.
“Telungkup dong Mas.” Aku membalik tubuhku.

Yeni menduduki pantatku. Penisku yang tegang terjepit, menjelaskan minyak ke punggungku, lalu mulai mengurut. Tutorial mengurutnya tidak lebih menekan, tidak seenak pemijat profesional pasti saja. “Kamu dari mana Yen?” “Cirebon, Mas.” Berakhir di pinggang serta punggungku, Yeni lalu melepas celdamku sambil bilang maaf. Sopan banget. Aku berbalik. Pandangan Yeni sekilas ke penisku yang mengacung tegang.
“Hi hi… udah tegang.”
“Kamu lepas juga dong.”
“Okey,” dengan tenang Yeni melepas satu-satunya kain penutup tubuhnya itu.
Jembut lebatnya menutupi seluruh permukaan kewanitaannya.
“Balik lagi, dong.” Pantatku dipijat, lalu pahaku. Diurut dari belakang lutut ke atas.
Sampai di pangkal pahaku, entah sengaja alias tidak, jempol tangannya menyentuh-nyentuh biji pelirku.
“Punggungnya lagi dong Yen.” Yeni menduduki pantatku lagi, bulu-bulu kelaminnya terasa banget mengelusi pantatku.
Terbukti inilah maksudku dengan meminta pijat di punggung.
“Katanya body massage…” tagihku.
“Entar dong Mas.”
“Dah, kini terlentang.” Yeni menumpahkan minyak ke dada, perut, serta penisku.
Lalu… hup! Dirinya “berselancar” di atas tubuhku.
“Sreeng”. Aku bergidik, gemetar sebab nikmat.

Kedua buah dadanya diusap-usapkan (dengan tekanan) ke dadaku. Lalu turun ke perutku. Ini sih bukan body massage, cocoknya “breast massage”. Buah dadanya yang mengkilat berlumuran minyak tidak jarang menggelincir di tubuhku. Tiga kali berurutan dada serta perutku “dipijat” buah dadanya, lalu… inilah yang membikinku berdesir kencang. Yeni menumpahkan minyak di telapak tangannya lalu mengoleskan di kedua buah dadanya. Buah itu makin mengkilat, serta putingnya tegang! Lalu, bergantian kiri kanan, buah dadanya memijati kelaminku, mak! Tidak itu saja. Diletakkannya batang penisku di belahan dadanya, lalu di”uyek”.
Yeni menggoyang tubuh atasnya bak penari salsa. Inilah sebabnya mengapa kawanku menyarankan supaya Aku memilih yang berdada besar. Sepasang daging kenyal memijati penisku, rasanya bagaikan terbang. Terbayang, kan, kalau dada model “papan setipsaan”, bukannya nikmat malah pegel. Aku wajib sekuat tenaga manahan diri untuk tidak ejakulasi. Apalagi nampaknya Yeni mengkonsentrasikan tekanan dadanya ke penisku. Untung saja baru kemarin Aku “keluar”. Kalau tidak, mungkin Aku telah menyiram maniku ke dada Yeni.

Kadang Aku menghentikan gerakan liarnya, sekedar mengambil nafas panjang. Lalu memerintahkan menggoyang lagi ketika Aku sejenak “turun tensi”.
“Mau keluar ya?” komentarnya.
Yeni menuruti komandoku. Oohh… cukuplah stimulasi ini, supaya Aku bisa menikmati “service” Yeni lainnya. Aku sukses menahan diri. Yeni bangkit.
“Yuk, cuci dulu Mas,” Yeni menghapus minyak di dada, perut serta penisku dengan sabun.

Lalu dirinya membersihkan tubuhnya sendiri. Ini memberiku peluang untuk mengerem nafsuku yang tadi hampir meledak. Aku menurut saja ketika Yeni megelap tubuhku dengan handuk, lalu merebahkan tubuhku terlentang. Mulailah servis ketiga… Diciuminya perutku, semakin turun ke pahaku, kanan serta kiri hingga ke dengkul. Naik lagi menciumi pelirku, bahkan mengemotnya, satu persatu bergiliran bijiku masuk ke mulutnya. Giliran lidahnya menjilati batang penisku, dari pangkal ke ujung. Disini dirinya memasukkan “kepala” penisku ke mulutnya. Hanya sebentar, dilepas lagi serta mulai menjilati dari pangkalnya lagi.
Begitulah berulang-ulang hingga akhirnya dirinya meperbuat blow job seperti adegan oral sex di film biru. Kembali Aku wajib “berjuang” untuk tidak meledak. Lagi-lagi Aku wajib menyetopnya ketika kurasakan Aku hampir muncrat. Tahap keempat, dimulai.
“Pake kondom ya Mas.” Maksudku juga begitu.

Aku tidak mau ambil resiko bermain seks dengan perempuan sewaan begini tanpa pengaman.
“Tolong ambilin di saku celanaku.”
“Saya bawa kok Mas.” Dengan terampil dirinya memasangkan kondom di penisku.
Berpengalaman dirinya rupanya.
“Mas tergolong kuat, lho.” Ah, ini sih basa-basi standar seorang profesional.
“Ah, bisa aja kamu.”
“Bener lho, biasanya baru dibody aja udah keluar.” Aku mencegah Yeni yang mulai menaiki tubuhku.
Aku tidak lebih suka dengan posisi di bawah. Membatasi gerakanku. Yeni terlentang serta membuka kakinya lebar-lebar. Sambil mengulumi putingnya Aku masuk. Belum pernah Aku menggoyang, Yeni duluan memutar pantatnya. Yah, posisi “missionarist” tidak butuh diceritakan prosesnya kan? Kamu telah tahu. Kecuali, berbagai kali Aku terpaksa menyuruh Yeni diam, supaya Aku bisa memompa sambil merasakan sensasi gesekan penisku pada dinding-dinding vagina Yeni.

Oh ya, ada lagi yang butuh Aku ceritakan. Ketika Aku mengambil “pause” dari gerakan memompa, dengan trampilnya Yeni memainkan tahap dalam vaginanya berdenyut-denyut teratur menyedoti penisku. Rasanya Bung! Susah digambarkan. Seperti “kompensasi” dari celahnya yang tidak begitu erat menggenggam penisku. Maklum, tidak jarang “digunakan”. Bahkan hingga Aku “berakhir” serta rebah lemas menindih tubuhnya, Yeni tetap memainkan denyutan vaginanya! Aku tidak rugii keputusanku untuk memilih Yeni dibanding Si Serba Menonjol tadi.
“Semua cewe di sana tadi service-nya terbukti begini ya?” tanyaku membuka kebisuan.
Aku tetap menindih tubuhnya, penisku tetap di dalam.

“Engga tahu dong, Mas. Cobain aja,” Ada nada tidak lebih bahagia yang tersirat.
“Bukan begitu, cuman pengin tahu aja.”
“Eh, bener kok Mas, Saya engga ada apa-apa. Tamu kan berhak memilih.”
“Mas tidak jarang ngeseks ya,” kata Yeni ketika dirinya melepas kondom serta “mengecek” isinya.
“Keluarnya dikit,” sambungnya.
Tahu aja loe.
“Jangan kapok ya, Mas.”
“Engga dong,” Serangkaian servis yang disuguhkan Yeni terbukti memuaskanku.
“Tidak jarang-tidak jarang ke sini ya,” Lagi-lagi ucapan basa-basi yang standar.
“Iya dong, Kalau ada peluang lagi saya ke sini serta pilih kamu lagi.”
“Ah engga usah basa-basi, pasti Mas pengin coba yang lain kan?’ Lagi-lagi, tahu aja loe!

Share: