388cash388cash

Cerita Sex Bu Asna Dosenku


Aku adalah mahasiswa arsitektur tingkat akhir di sebuah universitas swasta di kota Bandung, dan telah saatnya melaksanakan tugas akhir sebagai prasyarat kelulusan. Beruntung, aku kebagian seorang dosen tang santai dan kebetulan adalah seorang ibu. Asna namanya, usianya 30 thn cerdas dan cantik
Cukup susah utk mengfotokan kejelitaan sang ibu. Bersuami seorang dosen pula yg kebetulan adalah favorit anak-anak sebab moderat dan sangat akomodatif. Pendek kata tidak sedikit kawan-kawanku yg sedikit iri mengenal aku kebagian pengajar Bunda Asna.
“Dasar lu… enak amat kebagian bunda yg cantik jelita…” Kalau telah begitu aku hanya tersenyum kecil, toh bisa apa sih pikirku.

Proses asistensi dengan Bunda Asna sangat mengasyikan, sebab tidak hanya beliau berwawasan luas, aku jg disuguhkan kemolekan tubuh dan wajah beliau yg diam-diam kukagumi. Makanya dibanding kawan-kawanku tergolong rajin berasistensi dan progres fotoku lumayan pesat. Setiap asistensi mengangkat kita berdua terus bersahabat satu sama lain. Bahkan sebuahsaat, aku membawakan beberapa kuntum bunga aster yg kutahu sangat disukainya. Sambil tersenyum dirinya berucap,
“Kamu mencoba merayu Ibu, Ben?”

Aku ingat wajahku waktu itu langsung bersemu merah dan utk menghapus grogiku, aku langsung menggelar foto dan bertanya sana-sini. Tp tidak urung kuperhatikan ada binar bahagia di mata beliau. Seusai kejadian itu setiap kali asitensi aku tidak jarang mendapati beliau sedang menatapku dengan pandangan yg entah apa artinya, beliau makin tidak jarang curhat mengenai beberapa hal. Asistensi jadi ngelantur ke bermacam subyek, dari persoalan di kantor dosen hingga anak tunggalnya yg baru saja mengeluarkan kata pertamanya. Sesungguhnya aku menyukai perkembangan ini tetapi tidak ada satu pun pikiran aneh di benakku sebab hormat terhadap beliau.

Hingga… pada saat kejadian. Sebuahmalam aku asistensi sedikit larut malam dan beliau terbukti tetap ada di kantor pukul 8 malam itu. Yg pertama terkesan adalah mata beliau yg indah itu sedikit merah dan sembab. “Wah, saat yg kurang baik nih”, pikirku. Tp dirinya menunjuk ke kursi dan sedikit tersenyum jadi kupikir tidak apa-apa bila kulanjutkan. Seusai segala proses asistensi selesai aku membeAsnakan diri bertanya, “Ada apa Bu? Kok kelihatan agak sedih?”
Kelam menyelimuti lagi wajahnya walau berusaha disembunyikannya dengan senyum manisnya.
“Ah biasalah Ben, persoalan.”

Ya telah kalau begitu aku segera beranjak dan memselesaikan segala kertasku. Dirinya terdiam lama dan saat aku telah mencapai pintu, barulah…
“Kaum Pria terbukti rutin egois ya Beni?”
Aku berbalik dan seusai berpikir cepat kututup kembali pintu dan kembali duduk dan bertanya hati-hati.

“Kalau boleh saya tahu, kenapa Bunda mengatakan begitu? Sebab setahu saya perempuan terbukti rutin mengatakan begitu, tp saya tdk sependapat sebab certain individual punya ego-nya sendiri-sendiri, dan tdk bisa digolongkan dalam sebuahstereotype tertentu.”
Matanya mulai nasib dan kita beradu alasan panjang mengenai subyek tersebut dan ujung-ujungnya terbukalah rahasia perkawinannya yg selagi ini mereka sembunyikan. Iya, bahwa pasangan tersebut kelihatan harmonis oleh kita mahasiswa, mereka kaya raya, keduanya berparas good looking, dan beberapa faktor lain yg bisa membikin pasangan lain iri menonton keserasian mereka. Tetapi semua itu menutupi sebuah persoalan mendasar bahwa tdk ada cinta diantara mereka. Mereka berdua dijodohkan oleh orang tua mereka yg konservatif dan selagi ini keduanya nasib dalam kepalsuan. Faktor ini diperkurang baik oleh kasarnya perlakuan Pak Indra (suami beliau) di rumah terhadap Bu Asna (fakta yg sedikit membikinku terhenyak, ugh betapa palsunya manusia sebab selagi ini di depan kita beliau terkesan sebagai sosok yg care dan gentle).

Singkat kata beliau sambil terisak menumpahkan isi hatinya malam itu dan itu semua membikin dirinya sedikit lega, dan mengangkat perasaan aneh bagiku, membikin aku merasa penting dan dekat dengan beliau. Kita memutuskan utk jalan malam itu, ke Lembang dan beliau memberi kehormatan bagiku dengan ikut ke sedan milikku. Sedikit gugup kubukakan pintu untuknya dan tergesa masuk lalu mengendarai mobil dengan ekstra hati-hati. Dalam perjalanan kita lebih tidak sedikit diam sambil menikmati gubahan karya Chopin yg mengalun lembut lewat stereo. Kucoba sedikit bercanda dan menghangatkan suasana dan nampaknya lumayan sukses sebab beliau bahkan telah bisa tertawa terbahak-bahak sekarang.
“Kamu pasti telah punya pacar ya Beni?”
“Eh eh eh”, aku gelagapan.
Iya sih emang, bahkan ada beberapa, tetapi pasti saja aku tidak bakal mengakui faktor tersebut di depannya.
“Nggak kok Bu… belum ada… mana laku aku, Bu…” balasku sambil tersenyum lebar.
“Huuu, bohong!” teriaknya sambil dicubitnya lengan kiriku.
“Cowok kayak kalian pasti playboy deh… ngaku aja!”
Aku tdk bisa menjawab, kepalaku tetap dipenuhi fakta bahwa beliau baru saja mencubit lenganku. Ugh, betapa berdebar dadaku dibuatnya. Beda bila kawan wanitaku yg lain yg mencubit.
Larut malam telah tiba dan telah waktunya beliau kuantar pulang seusai menikmati jagung bakar dan bandrek berdua di Lembang. Daerah Dago Ahli tujuannya dan saat itu telah jam satu malam ketika kita berdua mencapai gerbang rumah beliau yg eksotik.
“Mau nggak kalian mampir ke rumahku dulu, Ben?” ajaknya.
“Loh apa kata Bapak entar Bu?” tanyaku.
“Ah Bapak lagi ke Kupang kok, penelitian.”
Hm… benakku ragu tetapi senyum manis yg menghiasi bibir beliau membikin bibirku berucap mengiyakan. Aku mendapati diriku ditarik-tarik manja oleh beliau ke arah ruang tamu di rumah tersebut bakal tetapi benakku tidak habis berpikir,
“Duh ada apa ini?”
Sesampainya di dalam,
“Sst… pelan-pelan ya… Detty pasti lagi lelap.” Kita beringsut masuk ke dalam kamar anaknya dan aku hanya menonton ketika beliau mengecup kening putrinya yg manis itu pelan.
Kami berdua bergandengan memasuki ruang keluarga dan duduk bersantai lalu mengobrol lama di sana. Beliau memperkenalkan segelas orange juice. “Aduh, apa yg wajib aku perbuat”, pikirku.
Entah setan mana yg merasuk diriku ketika beliau hendak duduk kembali di karpet yg tebal itu, aku merengkuh tubuhnya dalam sekali gerakan dan merangkulnya dalam pangkuanku. Beliau hanya terdiam sejenak dan berucap,
“Kita berdua telah sama-sama dewasa dan tahu kemana ini menuju bukan?” Aku tidak menjawab hanya mulai membetulkan uraian rambut beliau yg jatuh tergerai dan mengangkat tubuh moleknya terus erat ke dalam pelukanku, dan kubisikkan di telinganya, “Beni sangat sayang dan hormat pada Ibu, oleh sebabnya Beni tidak bakal berbuat macam-macam.” Ironisnya saat itu sesuatu mendesakku utk mengecup lembut cuping telinga dan mengendus leher hingga ke belakang kupingnya.
Kulihat sepintas beliau menutup kelopak matanya dan mendesah lembut.
“Kau tahu aku telah lama tdk merasa semacam ini Ben…” Kebandelanku meruyak dan aku mulai menelusuri wajah beliau dengan bibir dan lidahku dengan sangat lembut dan perlahan.
Setiap sentuhannya membikin sang bunda merintih makin dalam dan beliau merangkul punggungku terus erat. Kedua tanganku mulai nakal merambah ke beberapa tempat di tubuh beliau yg mulus wangi dan terawat.
Aku bukanlah penggemar ulung, infact saat itu aku tetap perjaka tetapi cakupan wawasanku mengenai seks sangat luas.
“Tunggu ya Ben… bunda bakal bebersih dulu.” Ugh apa yg terjadi, aku tersadar dan saat beliau masuk ke dalam, tanpa pikir panjang aku beranjak keluar dan segara berlari ke mobil dan memacunya menjauh dari rumah Bunda Ir. Asna dosenku, sebelum segalanya telanjur terjadi. Aku terlalu menghormatinya dan… ah pokoknya berat bagiku utk mengkhianati kepercayaan yg telah beliau berbagi jg suaminya. Sekilas kulihat wajah ayu beliau mengintip lewat tirai jendela tetapi kutegaskan hatiku utk memacu mobil dan melesat ke rumah Vani.
Sepanjang perjalanan hasrat yg telah tersadar dalam diriku menunjukan pengaruhnya. Aku tidak bisa konsentrasi, segala rambu kuterjang dan hanya dewi fortuna yg bisa menyebabkan aku hingga dengan selamat ke pavilyun Vani. Vani adalah seorang gadis yg aduhai seksi dan menggairahkan, pacar kawanku. Tetapi sejak dulu dirinya telah mengakui kalau Vani menyukaiku. Bahkan dirinya telah beberapa kali sukses memaksa utk bercumbu denganku. Faktor yg kupikir tidak ada salahnya sebagai sebuahpelatihan buatku. Aku mengetuk pintu kamar paviliunnya tanpa jawaban, kubuka segera dan Vani sedang berjalan ke arahku,
“Sendirian?” tanyaku. Vani hanya mengangguk dan tanpa tidak sedikit ba bi bu, aku merangsek ke depan dan kupagut bibirnya yg merah menggemaskan.
Kami berciuman dalam dan bernafsu. “Kenapa Ben?” di sela-sela ciuman kami, Vani bertanya, aku tidak menjawab dan kuciumi dengan buas leher Vani, hingga dirinya gelagapan dan menjerit lirih. Tangan kananku membanting pintu sementara tangan kiriku dengan cekatan mendekap Vani makin erat dalam pelukanku. “Brak!” kurengkuh Vani, kuangkat dan kugendong ke arah kasur.
“Ugh buas sekali kalian Ben…” Sebuah senyum aneh menghiasi wajah Vani yg jelita.
Kurebahkan Vani dan kembali kita berpagutan dalam adegan erotis yg liar dan mendebarkan. Aku bergeser ke bawah dan kutelusuri kaki Vani yg jenjang dengan bibirku dan kufokuskan dibagian paha dalamnya. Kukecup mesra betis kanannya. Vani hanya mengerang keenakan sambil cekikikan lirih sebab geli. Kugigit-gigit kecil paha yg putih dan mulus memikat itu sambil tanganku tidak henti membelai dan merangsang Vani dengan gerakan-gerakan tangan dan jari yg memutar-mutar pada payudaranya yg seksi dan ranum. Dengan sekali tarik, piyama yg dikenakannya terlepas dan kulemparkan ke lantai, sementara aku bergerak menindih Vani.
Kami saling melucuti hingga tidak ada sehelai benang pun yg menjadi pembatas tarian kita yg makin lama makin liar. “Beni ahhh… Beni… Beni…” Vani terus berbisik lirih ketika kukuakkan kedua kakinya dan aku menuju kewanitaannya yg membukit menantang. Kusibakkan rambut pubic-nya yg lebat tetapi rapih dan dan merta aromanya yg khas menyeruak ke hidungku. Bentuknya begitu menantang jadi entah kenapa aku langsung menyukainya. Kuhirup kewanitaan Vani dengan keras dan lidahku mulai menelusuri pinggiran labia minora-nya yg telah basah oleh cairan putih bening dengan wangi pheromone menggairahkan. Kubuka kedua labia-nya dengan jemariku dan kususupkan lidahku pelan diantaranya menyentuh klitorisnya yg telah membesar dan kemerahan.
“Aaagh…” Vani menjerit tertahan, sensasi yg dirasakannya begitu menggelora dan terus membangkitkan semangatku.
Detik itu jg aku memutuskan utk melepas status keperjakaanku yg entah apalah artinya. Sejenak pikiranku melambung pada Bunda Asna, ah apa yg terjadi besok? Kubuang jauh-jauh perasaan itu dan kupusatkan perhatianku pada gadis cantik molek yg terbaring pasrah dan menantang di hadapanku ini. Vani pun okelah. Malam ini aku bakal bercinta dengannya. Dengan ujungnya yg kuruncingkan aku menotol-notolkan lidahku ke dalam kewanitaan Vani hingga ia melenguh keras panjang dan pendek.
Lama, aku bermain dengan beberapa teknik yg kupelajari dari buku. Benar kata orang tua, membaca itu baik utk meningkatkan pengetahuan. Kuhirup semua cairan yg keluar darinya dan terus dalam aku menyusupkan lidahku menjelajahi permukaan yg lembut itu terus keras lenguhan yg terdengar dari bibir Vani. Aku naik perlahan dan kuciumi pusar, perut dan tahap bawah payudaranya yg membulat tegak menantang. Wajib kuakui tubuh molek Vani, pacar kawanku ini sungguh indah. Lidahku menjelajahi permukaan beledu itu dengan penuh perasaan hingga hingga ke puting payudaranya yg kecoklatan. Aku berhenti, kupandangi lama hingga Vani berteriak penasaran,
“Ayo Ben… tunggu apa lagi sayang.”
Aku berpaling ke atas, di hadapanku saat ini wajah putih jelitanya yg kemerahan sambil menggigit bibir bawahnya sebab tidak bisa menahan gejolak di dadanya. Hmm… pemandangan yg jarang-jarang kudapat pikirku. Tanganku meraih ke samping, kusentuh pelan putingnya yg berdiri menjulang sangat menggairahkan dengan telunjukku.
“Aaah Ben… jangan bikin aku gila, please Ben…” Dengan gerakan mendadak, aku melahap puting tersebut mengunyah, mempermainkan, dan memilinnya dengan lidahku yg lumayan mahir.
(Aku tahu Vani sangat sensitif dengan miliknya yg satu itu, bahkan hanya dengan itupun Vani bisa orgasme saat kita tidak jarang bercumbu dulu). Vani menjerit-jerit kebahagiaan. Kebahagian melandanya hingga ia maju dan hendak merengkuh badanku.
“Eit, tunggu dulu Non… jangan terlalu cepat sayang”, aku menjauh dan menyiksanya, biar kelak jg tahu rasanya multi orgasme.
Nafas Vani yg memburu dan keringat mengucur deras dari pori-porinya lumayan kurasa. Aku bangkit dan berangkat ke dapur kecil minum segelas air dingin.
“Jaaahat Beni… jahaat…” kudengar seruannya.
Saat aku balik, tubuhnya menggigil dan tangannya tidak henti merangsang kewanitaanya. Aku benci faktor itu, dan kutepis tangannya,
“Sini… biar aku…” Aku kembali ke arah wajahnya dan kupagut bibirnya yg merah itu dan kita bersilat lidah dengan semangat menggebu-gebu. Kuraih tubuh mungilnya dalam pelukanku dan kutindih pinggulnya dengan badanku.
“Uugh…” dirinya merintih di balik ciuman kami. Kedua bibir kita saling melumat dan menggigit dengan lincahnya, seolah saling berlomba.
Birahi dan beberapa gejolak perasaan mendesak sangat dahsyat. Sangat intensif menggedor-gedor seluruh syaraf kita utk saling merangsang dan memuaskan sang lawan. Kejantananku minta perhatian dan mendesak-desak hingga permukaannya penuh dengan guratan urat yg sangat sensitif. Duh… saatnya kah? aku bingung sejenak tetapi kubulatkan tekadku dan dengan segera aku menjauh dari Vani. Tanpa disuruh lagi Vani meregangkan kedua pahanya dan menyambut kesediaanku dengan segenap hati. Punggungnya membusur dan bersiap. Sementara aku menyiapkan penisku dan membimbingnya menuju ke pasangannya yg telah lumer licin oleh cairan kewanitaannya.
Oh my God… sensasi yg saat itu kurasakan sangat mendebarkan, saat-saat pertamaku. Gigitan bibir bawah Vani menunjukkan ketdksabarannya dan dengan kedua betisnya dirinya mendesak pinggulku utk bergerak maju ke depan. Akhirnya keduanya menempel. Kubelai-belaikan permukaan kepala kejantananku ke klitorisnya dan Vani meraung, masa sih begitu sensasional? Biasa sajalah. Kudesak ke depan perlahan (aku tahu ini adalah faktor pertama bagi dirinya jg) sial… mana muat? Ah pasti muat. Kusibakkan dengan kedua jemariku sambil pinggulku mendesak lagi dengan lembut tetapi mantap. Membelalak Vani ketika penisku telah menyeruak di antara lubang kewanitaannya.
Sambil matanya mendelik, menahan nafas dan menggigit-gigit bibir bawahnya, Vani mengajar dengan memegang penisku, “Hmm… Ben? jangan ragu sayang…” Dengan mantap aku menghentakkan pinggulku ke depan supaya Vani menjerit. Loh semacamganya telah hanyut ke dalam. Hangat, basah, ketat sangat sensasional. Pinggang kugerakkan ke kiri dan ke kanan.
Sementara Vani kepedasan dan air matanya sedikit mengintip dari ujung matanya yg berbinar indah itu.
“Kenapa sayang?” tanyaku.
“Nggak pa-pa Ben… terusin aja sayang… Aku adalah milikmu, semuanya milikmu…”
“Sungguh…”
Aku tahu pastilah mengharukan bagi gadis manapun walau sebandel Vani, jika kehilangan keperawanannya. Maka utk menenangkannya aku merengkuh tubuhnya dan kuangkat dalam pelukan, proses itu membikin penisku terus dalam merasuk ke dalam Vani. Dirinya mendelik keenakan, matanya yg indah merem melek dan bibirnya tidak henti mendesah,
“Ben sayaaang… ugh nikmatnya.” Saat itu aku sedang memikirkan Bunda Asna.
Aneh, mili demi mili penisku menghujam deras ke dalam diri Vani dan terus dalam dan setiap kali aku menggerakkan pinggulku ke kiri dan ke kanan sekujur tubuh Vani bergetar, bergidik menggelinjang keras, lalu kudesak ke dalam sambil sesekali kutarik dan ulur. Vani menjerit keras sekali dan kubungkam dengan ciumanku, glek… kalau ketahuan bunda kost-nya mampus kami. Aku tidak menygka sedemikian ketatnya kewanitaan Vani, hingga penisku serasa digenggam oleh sebuah mesin pemijat yg walau rapat tetapi memberbagi rasa enjoy dan nikmat yg tidak terkira. Pelumasan yg kuperbuat telah lumayan jadi kulit permukaannya kuyakin tdk lecet sementara perjalanan penisku menuju ke akhirnya terus dekat. Hangat luar biasa, hangat dan basah menggairahkan, tulang-tulangku seakan hendak copot oleh rasa ngilu yg sangat bombastis. Perasaan ini rupanya yg sangat diimpikan berjuta pria.
“Eh… Vani sayang… kasihan kau, kelihatan sangat menderita, walau aku tahu dirinya sangat menikmatinya”. Wajahnya bergantian mengerenyit dan membelalak hingga akhirnya telah lumayan dalam, kusibakkan liang kemaluan Vani-ku tersayang dengan penisku hingga bersisa sedikit sekali di luarnya.
Vani merintih dan membisikkan kata-kata sayang yg terdengar bagaikan musik di telingaku. Aku mendenyutkan penisku dan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan bersentuhan dengan hampir seluruh permukaan dalam rahimnya, mentokkah? Beberapa tonjolan yg ada di dalam lubang memeknya kutekan dengan penisku, hingga Vani bakal menjerit lagi, tetapi segera kubungkam lagi dengan ciuman yg ganas pada bibirnya.
Kutindih dia, kutekan badannya hingga melesak ke dalam kasur yg empuk dan kusetubuhi dirinya dengan nafsu yg menggelegak. Dengan mantap dan terkendali aku menaikkan pinggulku hingga kepala penisku nyaris tersembul keluar. Ugh, sensasinya dan segera kutekan lagi, oooh pergesekan itu luar biasa indah dan nikmat. Gadis seksi yg ranum itu merem melek keenakan dan ritual ini kita perbuat dengan tenang dan santai, berirama tetapi dinamis. Pinggulnya yg montok itu kuraih dan kukendalikan jalannya pertempuran hingga segalanya makin intens ketika sesuatu yg hangat mengikuti kontraksi luar biasa pada otot-otot kewanitaannya meremas-remas penisku, dan ditingkahi bulu mata Vani yg bergetar cepat mendahului bau orgasme yg sedang menjelangnya. Aku sempat membaca faktor ini.
“Shhs sayang Vani… jangan dulu ya sayang ya…”
“Shhh… Beni… nggak tahan aku… Beennn… shhhh…”
“Cup cup… kalem sayang…” kukecup lembut matanya, bibirnya, hidungnya, dan keningnya.
Vani mereda, aku berhenti.
“Beni… kalian tega ih…” Vani cemberut sambil luar biasa-narik bulu dadaku.
“Sshhh sayangku… biar aja, entar kalau udah meledak pasti nikmat deh… minum dulu yuk sayang…”
Aku luar biasa keluar penisku, aku tidak mau Vani tumpah, walau demikian saat aku luar biasa penisku, ia memelukku dengan kencang hingga terasa sakit menahan sensasi luar biasa yg barusan dirinya rasakan. Kalian para pembaca wanita yg sempat bercinta pasti sempat merasakan faktor itu. Sembari minum aku luar biasa nafas panjang dan meredakan pula gejolak nafsuku, aku mau yg pertama ini jadi indah utk kita berdua. Sial, ingatanku kembali melayg ke Bunda Asna. Apa yg kini dirinya perbuat? Bagaimana keadaan dia? Ah urusan besok sajalah. Dengan melompat aku merambat naik lagi ke tubuh Vani yg sedang tersenyum nakal.
“Minum sayang…” dirinya memberengut dan minum dengan cepat.
“Ayo Beni… jangan jahat dong…”
Dengan satu gerakan cepat aku menyelipkan diri di antara kedua kakinya seraya membelainya cepat dan meletakkan penisku ke perbukitan yg ranum itu. Cairan putih yg kental terkesan meleleh keluar.
Kusibakkan kewanitaannya, dan dengan cepat kutelusupkan penisku ke dalamnya. Ugh, berdenyut keduanya masuklah ia, dengan mantap kudorong pinggulku mengayuh ke depan. Vani pun menyambutnya dengan suka cita. Walhasil dengan segera dirinya telah masuk melalui liang yg licin basah dan hangat itu ke dalam diri Vani dan bersarang dengan enjoynya. Maka dimulailah tarian Tango itu. Menyusuri kelembutan beledu dan bagaikan mendaki puncak perbukitan yg luar biasa indah, kita berdua bergerak dengan cara erotis dan ritmis, bersama-sama menggapai-gapai ke what so called kenikmatan tiada tara. Gerakan batang kejantananku dan pergesekannya dengan ‘diri’ Vani sungguh susah difotokan dengan kata-kata. Kontraksi yg tadi telah reda mulai lagi mendera dan meningkatkan nikmatnya pijatan yg dihasilkan pada penisku. Tanganku menghentak menutup mulutnya saat Vani menjerit keras dan melenguh keenakan. Lama kutahan dengan mencoba mengalihkan perhatian terhadap beberapa subyek non erotis.
Aku tiba-tiba jadi buntu, Yap… Darwin, eksistensialist, le corbusier, pilotis, doppler, dan Thalia. Hah, Thalia yg seksi itu loh. Duh… kembali deh ingatanku pada persetubuhan kita yg mendebarkan ini. Ah, nikmati saja, keringat kita yg berbaur seiring dengan pertautan tubuh kita yg seolah tidak mau terpisahkan, gerakan pinggulnya yg aduhai, bau persetubuhan yg kental di udara, jeritan-jeritan lirih tanpa pengertian yg hanya bisa dipahami oleh dua makhluk yg sedang memadu cinta, perjalanan yg panjang dan tidak berujung.
Hingga desakan itu tidak tertahankan lagi semacam bendungan yg bobol, kita berdua menjerit-jerit tertahan dan mendelik dalam nikmat yg berusaha kita batasi dalam sebuahluapan ekspresi jiwa. Vani jebol, berulang-ulang, berantai, menjerit-jerit, deras keluar memancarkan cairan yg membasahi dan meningkatkan kehangatan bagi penisku yg jg tengah meregang-regang dan bergetar hendak menumpahkan setampuk benih. Kontraksi otot-otot panggulnya dan perubahan cepat pada denyutan liang memeknya yg hangat dan ketat menjepit penisku. Akh, aku tidak tahan lagi.
Di detik-detik yg dahsyat itu aku mengingat Tuhan, dosa, dan Bunda Asna yg telah aku sedihkan, tp hanya sesaat ketika pancaran itu mulai menjebol tidak ada yg dibenakku kecuali… kenikmatan, lega yg mengawang dan kebahagiaan yg meluap. Aku melenguh keras dan meremas bahu dan pantat sekal Vani yg jg tengah mendelik dan meneriakkan luapan perasaannya dengan rintihan birahi. Berulang-ulang muncrat dan menyembur keluar tumpah ke dalam liang senggama sang gadis manis dan seksi itu.
Geez… nikmat luar biasa. Lemas yg menyusul dengan cara tiba-tiba mendera sekujur tubuhku hingga aku jatuh dan menimpa Vani yg segera merangkulku dan membisikkan kata-kata sayang.
“Enak sekali Beni, duh Gusti…” Aku menjilati lehernya dan membiarkan penisku tetap berbaring dan melemas di dalam kehangatan liang kewanitaannya (ya ampun kini pun aku mengingat kemaluan Vani dan aku bergidik ingin mengulang lagi).
Denyut-denyut itu tetap terasa, membelai penisku dan menidurkannya dalam kelemasan dan ketentraman yg damai. Kugigit dan kupagut puting payudara Vani dengan gemas. Vani membalas menjewer kupingku, walau tetap dalam tindihan tubuhku.
“Beni sayang… kalian keras kepala banget deh… gimana kalau Rian tahu kelak Ben…”
“Iya… dan gimana Vina-ku ya?” dalam hatiku.
Ironisnya lagi, kita rutin meperbuatnya berulang-ulang setiap ada peluang. Bagaikan tidak ada esok, dengan beberapa gaya dan tutorial tidak puas-puasnya. Di lantai, di dapur, di kasur, di bath tub, bahkan di kedinginan malam teras belakang paviliun sambil tertawa cekikikan. Rasa khawatir ketahuan yg diiringi kenikmatan tertentu memacu adrenalin terus deras, yg segalanya membikin gairah.
Tak kusangka kita terkuras habis, lelah tidak tertahan tetapi pagi telah menjelang dan aku wajib berjumpa dengan Bunda Asna. Aku bergerak melangkah menjauhi tempat tidur meskipun dengan lutut lemas semacam karet dan tubuhku limbung. Kamar mandi tujuanku. Segera saja aku masuk ke dalam bath tub dan mengguyur sekujur tubuh telanjangku dengan air dingin. Brrr… lemas yg mendera perlahan terangkat seiring dengan bangkitnya kesadaranku. Sambil berendam aku mengingat kembali kilatan momen yg kemarin hari ini terjadi.
Semenjak saat itu asistensiku dengan Bunda Asna berjalan beku, dan dirinya terkesan dingin sekali, sangat profesional di hadapanku. Beliau kembali terbuktiilku dengan anda, bukan panggilan manja Beni lagi semacam dulu. Aku serba salah, tdk sadarkah dirinya kalau aku pulang malam itu sebab menghormati dan menyayginya? Hingga dua hari menjelang sidang akhir, dan keadaan belum membaik, fotoku selesai tetapi belum mendapat persetujuan dari Bu Asna. Kuputuskan utk berkunjung ke rumahnya, walau aku tidak pasti apakah Pak Indra ada di sana alias tdk.
Hari itu mobilku dipinjam oleh kawan dekatku, sementara siangnya hujan rintik turun perlahan. Ugh, terbukti aku ditakdirkan utk gagal sidang hari ini. Bergegas kucegat angkot dan dengan terus dekatnya kawasan tempat tinggal beliau, terus deg-degan debar jantungku. Kucoba mengingat seluruh kejadian semalam saat aku dan Vani bercinta utk kesekian kalinya, utk mengurangi keresahanku.
Aku turun dari angkot dalam derasnya hujan dan dengan sedikit berlari aku membuka gerbang dan menerobos ke dalam pekarangan. Basah telah bajuku, kuyup dan bunga Aster yg kubawakan telah tidak berbentuk lagi. Kubunyikan bel dan menanti. Bagaimana kalau beliau keluar? bagaimana kalau Pak Indra ada di rumah? dan beratus what if berkecamuk hingga aku tidak menyadari kalau wajah jelita dan tubuh molek Bunda Asna telah berdiri beberapa meter di depanku. Saat aku sadar senyumnya tetap dingin, tp ada rasa kasihan terbesit tampak dari wajah keratonnya yg selagi ini rutin menghiasi mimpi-mimpiku. Aku hanya bisa menyodorkan bunga yg telah rusak itu dan mengatakan,
“Maafkan saya…”
Tubuhku yg menggigil kedinginan dan kuyup itu semacamnya menggugah rasa iba di hati beliau dan aku mendapati beliau tersenyum dan mengatakan,
“Telah Beni, cepat masuk, ganti baju sana… dua hari lagi kalian sidang loh… entar kalau sakit kan Bunda jg yg repot.” Uuugh, leganya beban ini telah terangkat dari dadaku, dan aku menghambur masuk.
“Maaf Bu, saya basah kuyup.” Beliau masuk ke dalam dan segera membawakan handuk utkku.
“Sana ke kamar dan ganti baju gih, pake aja kaus-kaus Bapak.” KubeAsnakan diri, mendoyongkan tubuh dan mengecup keningnya, “Terima kasih tidak sedikit Bu…” Sang bunda sedikit terperangah dan kemudian menepis wajahku.
“Telah sana, masuk… ganti baju kamu.” Dengan sedikit cengengesan aku masuk ke dalam dan mengeringkan tubuhku, dan mengganti baju dengan kaus yg sungguh pas di badanku.
Segera aku keluar dan mencari Bunda Asna. Beliau sedang berada di dapur mencoba membikinkan secangkir teh panas utkku. Aduuh, aku sedikit terharu. Dengan beringsut aku mendekatinya dan merangkul beliau dari belakang. Dengan ketus beliau menepis tubuhku dan menjauh.
“Beni… kalian pikir kalian bisa seenaknya saja begitu.” Aku terdiam.
“Saya minta maaf Bu, waktu itu saya berangkat sebab Beni tidak mampu Bu… Ibu, orang yg paling saya hormati dan sayangi, mungkin Beni perlu waktu, Bu…” sambil mengatakan demikian aku mendekatinya dan memegang pundak kanan beliau dan memberi sedikit pijatan lembut. Beliau tergetar dan tampak sedikit melunak.
Aku mendekat lagi, “Ibu mau maafin Beni?” sambil kutatap tajam matanya, kemudian perlahan aku mendekatkan wajahku ke wajah ayu sang ibu.
“Tp Ben…”
Beliau kelihatan bingung, tetapi kecupan lembutku telah bersarang lembut pada keningnya. Kurengkuh Asna yg ranum itu dalam pelukanku dan kuusap-usapkan kelopak bibirku pada bibirnya dan kukecup dan kugigit-gigit bibir bawahnya yg merah merekah itu. Nafas Asna sedikit memburu dan bibirnya merekah terbuka.
Semula sedikit pasif ciuman yg kuterima, kemudian lidahku menelusup ke dalam dan menyentuh giginya yg putih, mencari lidahnya. Getar-getar yg dirasakannya memaksa Asna utk memerima lidahku dan saling bertautlah lidah kita berdua, menari-nari dalam kerinduan dan rasa sayang yg susah dimengerti. Bayangkan beliau adalah dosenku yg kuhormati, yg meskipun cantik jelita, putih dan mempesona menggairahkan, tetapi tetap saja adalah orang yg sewajibnya kujunjung tinggi.
“Jangan di sini Ben, Fitri bisa datang kapan saja.”
Kutebak Fitri adalah nama pesuruh mereka.
“Bapak?”
“Ah biarkan saja dia”, kata dosen pujaanku itu.
Ditariknya tanganku ke arah kamarnya yg mereka rancang berdua.
“Buu… Bapak di mana?”
Wanita matang yg luar biasa cantik itu berbalik bertanya, “Kenapa, kalian takut? Pulang sana, kalau kalian takut.”
Ah, kutenangkan hatiku dan yakin dirinya pasti jg tdk bakal membiarkan ada konfrontasi di rumah mereka. Jadi aku medahului Asna (sekarang aku hanya terbuktigil beliau dengan nama Asna atas permintaannya. Di samping itu, Asna pun tidak tidak sama jauh umur denganku) dan dalam satu gerakan tangan, Asna telah ada dalam pondonganku, kemudian kuciumi wajahnya dengan mesra, lehernya, dan sedikit belahan di dadanya. Menjelang dekat dengan tempat peraduan, Asna kuturunkan dan aku mundur memandanginya semacam aku memandanginya saat pertama kali. Semula Asna sedikit kikuk.
“Kenapa? Aku cantik kan?”
Asna bergerak gemulai seolah sedang menari, duh Gusti… cantik sekali. Ia mengenakan daster panjang berwarna light cobalt yg menerawang.
Kupastikan Asna tdk mengenakan apa-apa lagi di baliknya. Payudaranya bulat dan penuh terawat, pinggulnya rutin membikin para mahasiswi iri bergosip dan mahasiswa berdecak kagum. Aku sekonyong-konyong melangkah maju dan dengan lembut kutarik ikatan di belakang punggungnya, hingga bagaikan adegan slow motion daster tersebut perlahan jatuh ke lantai dan menampilkan sebuah pemandangan menakjubkan, luar biasa indah. Tubuh telanjang Ir. Asna yg menggairahkan. Tanpa tunggu lebih lama aku kembali melangkah ke depan dan kita berpagutan mesra, lembut dan menuntut.
Mendesak-desak kita saling mencumbu. Ciuman terdahsyat yg sempat kualami, sensasinya begitu memukau. Lidahnya menerobos bibirku dan dengan penuh nafsu menyusuri permukaan dalam mulutku. Bibirnya yg mungil dan merah merekah indah kulumat dengan lembut tetapi pasti. Cita-cita yg luar biasa ini, saat itu aku bahkan hendak mencubit lengan kiriku utk meyakinkan bahwa ini bukanlah mimpi. Asna melucuti pakaianku dan meloloskan kaosku, sambil sesekali berhenti mengagumi gumpalan-gumpalan otot pada dadaku yg lumayan bidang dan perutku yg rata sebab tidak jarang didera push-up.
Kami berdua kini telanjang bagaikan bayi. Ada sedikit ironi pada saat itu, dan kita berdua menyadarinya dan tersenyum kecil dan saling menatap mesra. Aku menggenggam kedua tangannya dan mengajaknya berdansa kecil, eh norak tp romantis. Asna tergelak dan menyandarkan kepalanya ke dadaku dan kita ber-slow dance di sana, di kamar itu, aku dan Asna, tanpa pakaian. Penisku tanpa malu-malu berdiri dengan tegaknya, dan sesekali disentil oleh tangan lentik Asna. Dengan perutnya ia mendesak penisku ke atas dan menempel mengarah ke atas, duh ngilu tetapi sensasional.
Saat itu lumayan remang sebab hujan deras dan cuaca dingin, tetapi rambut Asna yg indah tergerai wangi tampak jelas bagiku. Kucium dan kubelai rambutnya sambil kubisikkan kata-kata sayang dan cinta yg rutin dibalasnya dengan… gombal, bohong dan cekikikan yg menggemaskan. Aku terus sayang padanya.
Ah, aku tidak tahan lagi. Kudesak tubuh Asna ke arah pinggiran peraduan, kubaringkan punggungnya sementara kakinya tergolek menjuntai ke arah lantai. Aku berlulut di lantai dan mengelus-elus kaki jenjangnya yg mulus. Dan mulai mencumbunya. Kuangkat tungkai kanannya sambil kupegang dengan lembut, kutelusuri permukaan dalamnya dengan lidahku, perlahan dari bawah hingga ke arah pahanya. Pada pahanya yg putih mulus aku meperbuat gerakan berputar dengan lidahku. Asna merintih kegelian.
“Ben, it feel so good, aku pengen menjerit jadinya…” Saat menuju ke kewanitaannya yg berbulu rapi dan wangi, aku memakai kedua tanganku utk membelai-belai tahap tersebut hingga Asna melenguh lemah.
Lalu sambil menyibakkan kedua labianya, aku menggigit-gigit dan menjepit klitorisnya yg tengah mendongak, dengan lembut sekali. “Aduuuh Ben, aku hingga sayang…” Sejumlah besar cairan kental putih meluncur deras keluar dari dalam liang kewanitaaannya dan dengan segera bau menyengat merasuk hidungku. Dengan hidungku aku mendesak-desak ke dalam permukaan kewanitaannya. Asna menjerit-jerit tertahan.
“Beniiii… nggghh… Ben… aduhh…” Asna sontak bangkit meraih dan meremas rambutku kemudian terus menekannya ke dalam belahan dirinya yg sedang menggelegak.
Kuhirup semua cairan yg keluar dari-nya, sungguh seksi rasanya. Aku mengenali wangi pheromone ini sangat khas dan menggairahkan. Asna-ku tersayang jg menyukainya, hingga menitikkan sedikit air mata. Aku naik ke atas dan menenangkan kekasih dan dosenku itu. Dengan wajah penuh peluh Asna tetaplah mempesona.
“Aduh Ben, Asna udah lama nggak banjir kayak gitu… mungkin perasaan Asna terlalu meluap ya sayang ya…” Dengan manja bunda yg sehari-harinya tampil anggun itu melumat bibirku dan menciumi seluruh permukaan wajahku sambil cekikikan.
Aduuuh, aku sayang sekali sama dosenku yg satu ini. Kudekap Asna dalam pelukanku erat demikian jg dibalasnya dengan tidak kalah gemasnya, jadi seakan-akan kita satu.
Aku ingin begini terus selamanya, mendekap wanita yg kusayangi ini sepanjang hayatku kalau bisa, tp nuAsnaku berbisik bahwa aku tdk bisa meperbuatnya. Akhirnya kuliahku telah usai dan kualitas yg memuaskan telah kuraih, wisuda telah lama lewat, dan kini aku telah menjadi entrepeneur muda.
Share: