388cash388cash

Cerita Sex: WIdya Istri Sepupuku


Kang Asep tetap di Belanda dan tidak bakal pulang dulu dalam waktu satu setengah bulan ini. Teh Widya, istri Kang Asep, sepupuku, tetap sibuk mengurusi perusahaan tours and travel miliknya. Sedangkan aku, Willy, sedang memandang cermin di depan dan dengan akurat kutelusuri perutku sendiri.

“Hmm, otot perutku telah lumayan juga!”, pikirku bangga.
“1.., 2.., 3.., 4.., 5.., 6.., Yup 6 buah petak.”

Sepulang kuliah, aku langsung berangkat ke pusat kebugaran tubuh. Terbukti itulah kegemaranku, aku tergolong cowok yang sangat mementingkan penampilan. Apalagi semenjak kejadian berbagai waktu lalu bersama Teh Widya. Aku sangat suka dengat tubuh sempurnanya Teh Widya. Dan aku juga ingin supaya Teh Widya tergila-gila menonton tubuhku. Teh Widya dan Aku terbukti rutin menjaga kebugaran tubuh supaya rutin tetap fit.

Sehabis mandi dengan hanya memakai celana jeans Levis. Aku merebahkan tubuhku sebentar di tempat tidurku. Aku ambil remote, dan mengarahkan ke sound system dikamarku. Blue Danube Waltz karya Johann Strauss yang dibawakan oleh Vienna Opera Orchestra dengan Peter Falk sebagai conductor-nya mulai menggema di kamarku. Aku letakkan kedua telapak tanganku di tahap belakang kepalaku sebagai pengganti bantal. Keadaan tubuh yang dingin sehabis mandi disertai rasa lelah sehabis membakar lemak dan membentuk tubuhku di pusat kebugaran membikin mataku terasa mulai berat, dan.., berbagai saat kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.

Entah mengapa, aku bermimpi sedang bermain bersama kucing kesayanganku yang telah lama tiada. Dalam mimpiku aku kembali menjadi aku yang tetap kecil. Aku berlari berusaha mengejar kucingku yang sedang berlari dan melompat berusaha meringkus kupu-kupu yang sedang terbang di sela-sela bunga anggrek milik ayahku. Aku sangat gembira sekali saat itu. Akhirnya kucingku tidak sanggup lagi mengejar kupu-kupu itu semacam aku yang tidak sanggup lagi mengejar kucing keSayanganku itu. Aku duduk di kersi cocok disebelah bunga anggrek berwarna ungu keSayangan ayahku. Kucingku mengikutiku dan duduk di pangkuanku. Terasa di perutku bulu-bulu halus kucingku yang sedang menjilati kaki depannya. aku mulai kegelian, rasanya geli sekali.., ingin rasanya aku tertawa.., ha, ha.., hi, hi.., hingga saking gelinya akupun terbangun.

Aku mulai membuka kedua kelopak mataku perlahan. Aku merasakan sesuatu yagng membikinku geli di perutku, tapi itu bukan kucing lagi semacam yang di dalam mimpi. Nyatanya.., yang membikinku geli adalah..,, sebuah telapak tangan yang mungil dan mulus sedang mengusap-usap perutku. Aku kaget dan dengan cara refleks aku menengadahkan kepala untuk mencari tahu tangan siapakah itu gerangan.
“Oh.., Teh Widya.., baru pulang Mbak..?” tanyaku lirih.

Teh Widya hanya menundukan kepalanya. Setiap aku menatap Teh Widya, rutin aku tertegun dan terpesona dibuatnya. Wajahnya yang sangat cantik.., telahlah.., tidak mungkin aku lukiskan keindahannya dengan kata-kata.
“Nggak, Mbak udah dari tadi sampe di rumah, bahkan Mbak udah sempet mandi segala”, jawabnya.
Terbukti tampak olehku rambutnya yang hitam legam, panjang dan tebal itu tetap sedikit basah.
“Aduh.., eh.., apa-apan neh..!”

Aku tidak bisa menggerakan kedua tanganku dan kedua kakiku. Aku berusaha menggerakannya, akhirnya aku sadar kedua tanganku terbelit ke tahap kiri dan kanan tempat tidurku, sedangkan kakiku terbelit ke tahap bawah tempat tidur. Kondisiku saat itu perses semacam orang yang di salib.
“Aduh Mbak, jangan bercanda ah..!”
“Aku nggak bisa ngapa-ngapain neh..!”
“Mbak.., aduuh, geli ah..!”

Teh Widya hanya tersenyum dengan tidak mempedulikan ocehanku. Dirinya terus meraba perutku dengan jari jemari lentiknya. Teh Widya terus menyusuri setiap lekukan di perutku.
“Aduh.., Mbak udah ah.., nggak tahan neh..!”, kataku memohon.
“Sst.., diam ah.., jangan tidak sedikit omong..!”, kemudian Teh Widya menghentikan permainan jarinya di perutku.
“Aku nggak bisa tenang tadi di kantor, rasanya pengen cepet pulang dan ketemu kamu”, ucap Mbak Wid sambil membelai rambutku.

“Pekerjaan Mbak di kantor jadi nggak bener, Mbak nggak bisa konsentrasi mikirin kamu. Dan pekerjaan Mbak jadi sedikit kacau. Untuk itu, kalian wajib dihukum..! Dan kini kalian wajib siap menerima hukuman kamu”, kembali ucap Teh Widya sambil mengedipkan sebelah matanya yang membikinnya terus cantik.
“Oh..God, The Fallen Angel..!”, kataku dalam hati.
“Tapi nggak usah diiket gini dong Mbak..!”, kataku sedikit memohon.
“Udah diam, ikatan ini hanya hukuman pendahuluan, kelak tetap tidak sedikit hukuman yang lebih berat lagi.”, kata Teh Widya sambil tersenyum.
“Willyku, Sayangku.., siap ya.., hukuman kalian baru bakal di mulai..!”, bisik Teh Widya dengan senyumannya yang mendesirkan sesuatu di tubuhku.
Teh Widya bangkit dan berangkat menuju ke arah sound system-ku. Terkesan olehku, Teh Widya memakai pakaian tidur kesukaannya. Pakaian itu terbuat dari bahan yang sangat indah.
Pakaian itu sangatlah jatuh dan pas sekali di tubuhnya yang tinggi semampai.
“Sangatlah wanita yang sempurna”, pikirku.
Lalu dirinya berjalan menuju sound systemku dan mengganti CD Johann Strauss ku dengan sebuah CD yang Lain. Dirinya mematikan lampu mutlak kamarku dan mengnasibkan lampu tidur yang letaknya di kiri dan kanan tempat tidurku. Teh Widya meyandarkan dirinya di tembok, dan tersenyum padaku sambil berjalan perlahan ke arahku. Dirinya berjalan dengan gayanya yang sedikit genit dengan diiringi lagu klasik kesukaannya, Capriccio Italien karya Tchaikovsky.
“Kamu tau lagu ini khan Sayangku? Lagu ini membikinku sedikit nakal..”, kata Teh Widya sambil menaiki tempat tidurku.
Teh Widya merangkak perlahan di sebelah kananku. Dirinya mengatur rambutnya yang bak untaian mutiara hitam itu ke sebelah kanan. Seusai dekat dengan tanganku yang terikat, Mbak Wid mencium telapak tangan kananku.
“Cup..!”, suara kecupan ditanganku membikin diriku mulai bergairah.
Teh Widya akhirnya selain mengecup telapak tanganku. Dirinya mulai menjilati pergelangan tanganku dengan sekali-kali menggigit. Mulai dari telapak tangan kananku, terus ke arah pergelangan tanganku, terus dan terus hingga di bahu kananku. Aku kegelian setengah mati.
“Aduh Mbak.., uughh, geli mbak..!”, kataku lirih.
Aku hanya bisa menggerakan bahuku dan kepalaku sedikit saja sebab kedua tangan dan kakiku terikat.
Dari bahu kananku, Teh Widya melangkahiku dengan tetap merangkak. Dirinya berpindah kesebelah kiriku dan meperbuat faktor yang sama dengan tangan kananku tadi. Teh Widya menelusuri tagan kiriku dengan lidahnya. Tanganku menjadi basah oleh ludah yang menempel di lidahnya. Faktor itu membikin rasa geli yang tidak tertahankan.
“Ouughh, Wid..!”, Aku tidak sadar, aku telah menghapus kata ‘Mbak’.
“Ghh.. ah, Wid geli ss.. Sayang..!”
Teh Widya tidak peduli. Dirinya terus meperbuat faktor itu terus menerus. Sesampai lidahnya menjulaiti dan menggigit bahuku, Teh Widya mendekatkan wajahnya yang idah cantik rupawan itu ke wajahku.
“Ayo Sayang, cium aku..!”, pinta Teh Widya sambil membasahi bibirnya dengan lidahnya.
Tapi Teh Widya terbukti pandai membawa libidoku.
Setiap aku berusaha mencium bibirnya, dirinya rutin membawa kepalanya untuk menghindar dari kecupanku. Faktor itu dirinya perbuat berulang-ulang membikinku makin penasaran.
“Sabar Sayang, belum saatnya..!”, katanya.
Teh Widya melangkahi tubuhku yang tetap terikat, jadi saat ini tubuhku berada di antara kedua kakinya.
Wajahnya yang cantik mulai menciumi leherku. Aku rasakan hembusan kecil nafasnya yang hangat dikurang lebih leherku. Perasaan ku mulai nggak keruan. Teh Widya terus menciumi dan menjilati leherku disertai gigitan-gigitan kecil. Wajahnya mulai menuruni leherku menuju ke dadaku. Semacam yang telah ku duga, kedua belah bibir mungil nan indah bagaikan bunga mawar yang merekah itu, mulai mempermainkan puting susuku. Dari yang kiri terus ke kanan.
“oohh, Wid, kalian nakal..!”, kataku lirih menahan rasa geli yang saat ini telah bercampur nikmat.
Seusai puas Teh Widya mulai menruni dadaku dan meperbuat faktor yang sama dengan perutku. Disini Teh Widya bermain agak sedikit lebih lama. Tidak percuma aku membuang uang, waktu dan tenaga untuk membentuk perutku.
Teh Widya tampak menikmati tonjolan-tonjolan yang berpetak-petak di perutku.
“Ahh, Wid.., terus Sayang aku suka..!”, kataku.
Teh Widya menyudahi mempermainkan otot perutku. Kini dirinya sedikit mundur dan menduduki pahaku. Teh Widya mengekakkan tubuhnya. Dan kemudian sekali lagi dirinya mengedipkan sebelah matanya.
“Ahh..,!”, aku seditit mendesah ketika tangannya membelai dan meremas celana jeansku cocok di tahap yang membungkus kemaluanku.
Teh Widya terus meremas, meremas, dan meremas. Setiap remasan membikinku menaikan sedikit pinggulku. Aku menikmati gerakan tangan Sang Bidadari yang sedang duduk di atasku itu.
Sedang enak-enaknya aku menikmati remasan tangan Teh Widya ke celanaku, tiba-tiba Teh Widya dengan buasnya membuka ikat pingangku dan luar biasanya hingga terlepas total dari celana jeansku dan melemparnya kelantai. Celanaku di tariknya ke bawah hingga ke betisku. Kini satu-satunya yang menutupi kejantananku hanyanlah celana dalam ku saja. Teh Widya kembali menunduk dan mulai menciumi celana dalamku. Kdang menciumi celana dalamku, kadang meremas-remasnya dengan kuat. Tidak lama kemudian Teh Widya menggigit ujung celana dalamku dan luar biasanya ke bawah hingga menumpuk menjadi satu dengan jean ku yang telah ada di betisku.
Kini tidak ada lagi yang menutupi kejantananku.
“Willy Sayang.., ini hukumanmu, kalian suka khan?”, bisik Teh Widya.
Aku hanya menganggukan kepalaku saja. Belum sempat aku berpikir jauh. Teh Widya dengan sedikit kasar mengambil dan mencengkeram batang kejantananku yang sedkit mengeras tapi belum mencapai kekerasan maksimum. Teh Widya menunduk lagi, dan mendekatkan wajahnya ke batang kejantananku.
“Hmmpff..!”, aku menahan nafas untuk menahan gejolak jiwaku.
Teh Widya menyingkap rambutnya dan mulaimenjilati kepala batang kejantananku. Lidahnya bermain dengan lincah di kepala rudalku. Selain itu, dirinya pun menjilati dua buah biji pelerku dan sekali-kali mengulumnya, dan akhirnya tiba saatnya dirinya mengulum batang rudalku. Yang nampak olehku hanyalan gerakan naik turun kepalanya.
“Ah.., Wid, ughh, ohh ahh..”, tidak hentinya aku mendesah.
Aku hanya bisa sdikit menggelinjang sebab tubuhku tetap tetap terikat. Entah berapa lama Teh Widya mempermainkan batang rudalku. Ludahnya yang hangat, gerakan lidahnya yang lincah, kuluman bibirnya dan sedotan mulutnya terbukti membawakan surga bagiku. 1 menit. 2 menit, 5 menit alias lebih. Dirinya terus mengulum dan menjilat batangku. Hingga akhirnya dirinya berhenti dan berdiri di belakang kakiku yang tetap terikat.
“Sayangku, kalian suka ya?”, katanya dengan manja.
“Aku berangkat dulu ya.. nggak lama koq.”
“Hey.. hey Teh Widya.. mau kemana..?”, kataku.
Teh Widya tidak mempedulikanku. Dirinya malah masuk kamar mandi di kamarku. Aku heran apa yang bakal dirinya perbuat, sementara gairahku mulai tidak tertahankan. Tidak berapa lama kemudian pintu kamar mandikupun terbuka. Teh Widya keluar dari sana dengan hanya memakai handuk yang membalut tubuhnya. Handuk itu cocok membungkus tubuh surgawi Teh Widya mulai dari sebatas puting sususunya hingga dengan perbatasan antara paha dan lekuk pantannya.
Mbak Wid sesekali berputar-putar di samping kiriku.
“Gimana aku nggak kalah seksi sama kalian khan Sayang..!”, tanya Teh Widya.
Aku tidak bisa menjawab, aku hanya berulang kali menelan ludahku sendiri. Teh Widya kemudian menaiki tempat tidurku dari belakang dan melangkahi kedua kakiku yang tetap terbelit jadi kini kedua kakiku cocok berada diantara kedua kaki Teh Widya. Dirinya kemudian berjalan pelan-pelan kearah wajahku.
“Oh.. Lord..!”, gumamku.
Aku bisa menonton celana putih berenda-renda jadi menjadikannya sedikit transparan. Terkesan olehku samar-samar bulu halus yang membayang di kemaluannya yang terbungkus kain tipis berenda itu.
“Kamu mau ini khan?” Tanya Teh Widya.
Teh Widya terus berjalan dengan sangat perlahan menuju wajahku, yang kemudian.. astaga.., dirinya menduduki wajahku. Aku mengerti dengan pasti apa yang wajib kuperbuat. Tapi Sang Bidadari ini terbukti nakal sekali. Setiap aku membawa kepalaku dan mendekatkan mulutku ke arah kemaluannya yang tetap tertutup kain putih dan tipis itu, Teh Widya rutin membawa pantatnya jadi aku gagal menyentuhkan mulutku ke arah surga yang tetap tertutup itu. Faktor itu diperbuatnya berulang kali. Dirinya mulai berjongkok lagi, aku membawa kepalaku, dirinya bangun, berjongkok, bangun, terus itu diperbuatnya berbagai kali. Aku berfikir keras, bagaikan mana caranya menghentikan semua ini.
“Hi.. hi.. hi, hi..!”
Bidadari itu tertawa lirih kegirangan menonton diriku yang sangatlah tidak berdaya. Tapi tidak lama kemudian dengan sedikit peluang, ketika Sang dewi kecantikan itu mulai jongkok lagi, aku sukses menggigit segi sebelah kiri tahap bawah celana dalam Teh Widya. Faktor itu membikinnya tidak bisa bediri lagi.
“Tuh, khan kalian terbukti nakal.. tapi kalian pintar koq.”, ucap Teh Widya.
“Lepasin dulu dong gigitan kamu..!”
Aku tidak peduli, aku telah kepalang, aku teris menggigit celana dalamnya.
“OK, deh.., kalo terbukti itu yang kalian mau..!”, kata Teh Widya.
Akhirnya dirinya berusaha berdiri dengan perlahan jadi celana dalamnya mulai terlepas dari selangkangannya. Tampak olehku dengan cara perlahan.
Belahan surgawi yang sangat indah itu membikinku nggak keruan. Seusai terlepas total, aku menggelengkan kepala ku kekiri untuk membuang celana dalam itu kesebelah kiri kepalaku. Sejenak Teh Widya menggoyang-goyangkan pinggulnya dan memamerkan keindahan belahan surga itu kepadaku. Aku nikmati keindahan itu sambil berbagaikali menelan ludahku. Teh Widya mencukur habis bulu-bulu kemaluannya, dan hanya menyisakan sedikit bulu-bulu halus yang tumbuh diantara pusar dan kewanitaannya. Tidak lama kemudian Teh Widya berjongkok dan mendekatkan lubang surgawinya ke mulutku. Aku langsung tahu apa yang wajib kuperbuat.
“Kamu pasti pengen ini khan Sayang?”, tanya Teh Wid.
Namun Teh Widya tidak langsung menempelkan lubang hangatnya ke mulutku tapi dirinya hanya bersujug diatas wajahku. Jarinya yang lentik mulai memainkan barangnya sendiri. Dengan gerakan memutar berulang yang berulang kali, Teh Widya memainkan wahana surgawinya.
Tangan kanannya membelai rambutku sesekali, sedangkan jari-jemari nya dengan lincah memainkan kemaluannya yang telah berubah warna. yang Sumbernya putih mulus, kini menjadi merah muda, bagaikan bunga anggrek yang tumbuh di pagi hari di tempa sinar surya. Sangatlah sebuahpemandangan yang indah. Seusai puas mempermainkan kemaluan tahap luarnya. Jari telunjuk dan jari tengahnya mulai membuka lubang surga itu, jadi akhirnya lubang itu terbuka dan menunjukan penghuni tunggalnya, sebuah daging kecil yang telah memerah timbul diantara lubang itu.
“Wid, aku pengen Clit kamu”, pintaku.
Teh Widya akhirnya menuruti apa mauku, dirinya menempelkan kewanitaannya ke mulutku. Aku jilat dan aku kulum disertai dengan sedikit hisapan di Clit-nya membikin Teh Widya tergila-gila pada permainan lidahku.
“Oufft, fftt.., ah.., ow..eegghh..!”
“Sayangku.., ahh.., oughh..!”
“Enak Sayang.., terus..ahh.!”, suara desahan sang bidadari membikinku terus gila.
Telah saatnya kini aku yang memegang kendali. Aku ingin memperbudaknya sekarang, sebab selagi ini aku hanya terbelit dan dijadikan budak olehnya. Aku mengendalikan diriku sesaat, kuhentikan permainan mulutku.
“Sayangku.., terus donk jangan berhenti..!”, Teh Wid mulai heran.
Aku tetap terdiam sambil mengumpulkan tenaga.
Akhirnya dengan sekuat tenaga dan sedikit erangan.., “Iii..Ya..!”
Aku sukses memutuskan kedua tali yang mengikat tanganku. Teh Widya tampat terkejut. Aku lemparkan tubuh Teh Widya yang tetap mengangkangi wajahku ke samping sebelah kanan tubuhku. Aku membungkuk dan melepaskan tali yang mengikat kakiku dan luar biasa celana dalam disertai celana jeansku, jadi aku kembali semacam sedia kala, telanjang dada dengan celana jeans Levis 501.
“Ampun Sayang.., nyatanya kalian bisa lepas juga ya..!”, kata Teh Widya.
Aku luar biasa tubuhnya ketengah tempat tidur.
“Sekarang aku yang berkuasa”, kataku perlahan sambil merangkak menghampirinya.
“Awas kalian ya..!”, kataku.
“Dari tadi kalian terus yang berkuasa, kini giliranku”, kataku dengan nada sedikit aku buat lebih seram.
“Suka alias tidak suka, kalian wajib siap”, kataku lagi.
“Ampun, aku minta ampun Sayang”, kata Teh Widya dengan posisi semacam yang sedang terpojok dan ketakutan, tapi dari sorot wajahnya aku tahu sekali bahwa dirinya sangat mengharapkanku saat itu.
“Kamu siap ya, kini giliranku”, kataku seusai wajah kami saling berdekatan.
“Jangan kasar ya, pelan-pelan aja..!”, kata Teh Widya sambil tersenyum.
Kemudian kukecup dengan mesra bibirnya.
Bukan kecupan penuh nafsu, mesikipun saat itu aku telah di kuasai oleh nafsu setan. Saat itu aku kecup dirinya semacam kecupan pertama dari seorang yang sangat mencintai gadisnya.
“Wid, kalian terbukti cantik sekali”, kataku.
“Willy, aku Sayang kamu”, kata Teh Widya.
Aku kembali mengecup bibirnya dengan mesra, tapi.., Teh Widya mengecupku dengan penuh nafsu seakan Mbak Wid ingin memakan mulutku dan menelan kepalaku bulat-bulat. Lidah kami berjumpa di dalam dan di luar mulut. Air ludah nya yang hangat terasa indah sekali membasahi bibirnya, membikinku seakan ingin terus mengecupnya. Tapi.., ada sesuatu yang luar biasa penglihatanku. Dua buah gumpalan daging yang sedikit menyembul dari balik handuk merah muda itu membikin ku menghentikan kecupanku. Dari sana aku tatap wajah Teh Widya sesaat, dirinya hanya menundukan kepalanya saja. Teh Widya tahu benar apa yang bakal aku perbuat terhadapnya, dan tampaknya dirinya menyetujuinya.
Aku kembali ke arah dua gumpalan itu, dan diantara gumpalan itu aku lihat ada sebuah ikatan yang mengikat handuk itu. Aku membawa tubuh Teh Widya untuk membenarkan posisinya. Kini Teh Widya terlentang di atas tempat tidurku. Aku membuka handuk itu dan membuangnya ke lantai. Dan.., Teh Wid kini sangatlah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh surganya. Tubuhnya yang adalah gabungan antara pitih bersinh dan kuning langsat itu membikinku gila memandangnya. Perutnya yang sangat datar, disertai lekukan otot yang sedikit terkesan menandakan Teh Wid terbukti pakarnya menjaga tubuh.
Tanpa pikir panjang lagi, aku tindih tubuh 170 cm itu dan langsung aku daratkan lidahku cocok di puting susunya yang berwarna merah muda. Aku putar lidahku di kurang lebih putingnya, aku permaunkan terus payudara sempurna itu dengan lidahku. Aku jilat, aku hisap dan kadang ditambah dengan sedikit gigitan mesra dariku.
“Ahh, Sayang.., terus.. offtt..!”, desahannya membikinku menikmati sekali faktor ini.
Kedua tangannya memegang kiri kanan kepalaku. Teh Widya berusaha menahan tekanan mulutku ke Payudaranya. Tapi itu semua tidak berpengaruh sama sekali bagiku untuk menikmati surga yang ada didepanku.
“Willy.., stop Sayang, aku nggak kuat lagi..!”
“Aku buka celana kalian ya Sayang..!”
Teh Widya mendorongku dan menuntunku berdiri di pinggir tempat tidur. Dirinya membuka jeansku dan menurunkan celana dalamku untuk yang kedua kalinya.
“Eh.., nyatanya punyamu telah tegak juga ya!”, kata Teh Widya yang lansung mengulum kontolku.
“Ahhgg.. Wid.., tadi khan udah..!”, kataku lirih sebab menahan rasa nikmat yang luar biasa.
“Aku pengen lagi..!”, Teh Widya berujar sambil kembali meneruskan kulumannya.
Kontolku makin terkesan basah kuyup oleh ludah hangat Teh Widya. Rasa hangay yang menjalar tubuhku membikin aku sdikit tidak bisa menahan diri. Ada sesuatu yang mengalir di atas pangkal kontolku. Ada sesuatu yang ingin aku keluarkan supaya kenikmatan ini terus mencapai puncak. Ser.. ser.. ser.., rasa desiran kenimatan itu sedah hampir di puncak, terus naik..dan terus naik seiring dengan kuluman dan hisapan mulut sang bidadari ke rudalku.
“Chlok.. chlok.. chok.. chop.. chop..!”
Suara itu.. ah.. suara hisapan mulut Teh Widya ke kontolku membikinku tidak tahan lagi.. aku hampir orgasme.. dan..
“Ahh.. udah dulu Sayang.. kini giliranku ya..!”, kataku menghentikan kegiatan Teh Widya.
Sebab kalau tidak pasti saja aku mencapai punckaku lebih dahulu dan permainan kemungkinan bakal berakhir. Aku tidak mau faktor itu terjadi. Aku tetap ingin menikmatinya lebih lama lagi.
“Sini Sayang, dudu di pinggir tempat tidur ya..!”, kataku.
Seusai duduk di pinggir tempat tidur, dengan kaki yang menjuntai rapat ke bawah membikinku tang bisa menonton pintu gerbang menuju sorga milik Teh Widya. Aku bersujud dihadapan kedua kaki panjangnya. Aku perhatikan lagi.. terbukti.., Teh Widya terbukti sempurna.., bahkan jari-jari kakinya pun bisa membikin aku bergairah. Putih, bersih tanpa cacat sedikitpun.
Perlahan aku renggangkan kedua kakinya. Dan benar saja.., terkesan lubang yang baru saja aku lihat tadi.
“Yup.., nggak usah di nanti-nanti..!”
Mulut, lidah, dan bibirku langsung menyeruak masuk ke memeknya.
“Oh.. Willy, tadi khan udah Sayang..!”, kata Teh Wid sambil menengadahkan kepalaku.
“Aku pengen lagi..!”, jawabku sama percis dengan yang tadi Teh Widya katakan.
Seusai aku jawab, Teh Widya dengan sendirinya merebahkan tubuh semampainya di tempat tidur dan membuka kaki surganya lebar-lebar. Aku tahan kedia pahanya dengan kedua tanganku. Aku renggangkan sebisa mungkin kedua kaki Teh Widya yang membikin memeknya melebar kesamping.
“Ah.. memek itu..”, pikirku.
Tak ada cacat sama sekali. Mesikipun kaki Teh Widya telah kurenggangkan semaksimal mungkin, namun tetap saja memek Teh Widya tetap tetap rapat, jadi aku wajib berusaha lebih keras untuk memperoleh kacang kenikmatannya.
“Nyam.. nyam.. nyam..!”
Aku bagaikan anjing kelaparan yang telah seminggu tidak dikasih makan oleh tuannya, dan kini makanan yang paling enak telah terdapat didepanku. Pastinya anjing itu bakal amat sangat rakus melahap makanan itu.
“Oghh.., fftt.., ahh.. uhh.. hgg..!”, Teh Widya Mendesah luar biasa seiring dengan jilatanku dan hisapan mulutku ke klitoris dan daerah kurang lebih memeknya itu.
Memeknya mengeluarkan bau wewangian mawar. Aku tidak berbohong sama sekali. Sungguh.., memeknya harum seharum mawar.. sekali lagi aku tidak bohong. Terus basah memek Teh Wid terus gila aku mempemainkannya dan..
“Willy.., kini Sayang.. sekarang.. aku nggak kuat.. sekarang.. Sayang pokoknya sekaraanngg..!”, Teh Widya menjerit.
Aku heran kenapa dirinya menjerit begitu.
“Sekarangg.. aoowww.. aahh.. Willy..!”, Jerit Teh Widya.
Aku hanya tersenyum, aku mengerti bahwa Teh Widya mengalami orgasmenya yang pertama.
“Tunggu dulu Sayang sebentar..”
Teh Widya menuju ketengah tempat tidur, aku perhatikan apa yang dirinya mau perbuat. Teh Widya berbaring dan mengganjalkan kepalanya dengan bantal. Dirinya meregangkan dan melipat kakinya. Aku tidak tahan lagi, aku hampiri dirinya dan..
“Mana punyamu Willy, cepet Masukin ke punyaku..!”, kata Teh Widya sambil kedua tangannya memeluk leherku.
Aku memegang kontolku dan mengiringnya kedepan pintu pintu gerbang menuju surga dunia itu. Kepala kontolku saat ini menempel pada bibir memek Teh Widya, aku tekan perlahan, sangat perlahan. Tapi kepala kontolku sedikit tergelincir. Aku coba lagi, tergelincir lagi. Kadang kesebelah kiri alias kesebelah kanan memek Teh Widya.
“Wid jangan ditahan donk, sulit neh..!”, kataku sedikit kesal.
“Aku nggak nahan koq, kalian lihat sendiri aku telah dalam posisi yang kayak gini..!”, katanya.
“Coba terus dong Sayang..!”, pintanya.
Tapi terbukti benar pikirku. Posisi kaki Teh Widya yang telah melebar semaksimal gitu telah tidak mungkin lagi memperlebar memeknya. Jadi.., memeknya terbukti sangatlah rapat sekali, bagaikan memek perawan. Sekali lagi aku tidak bohong.
Inilah, kegunaan dari Squat dengan posisi kaki lebar ataupun posisi kaki rapat yang rutin Teh Wid perbuat di tempat Fitness. Aku lanjutkan lagi.., Dengan sedikit tenaga tambahan.., Aku genggam penuh kontolku dengan hanya menyisakan tahap leher dan kepalanya saja. Aku fokuskan dengan cermat supaya kepala kontolku menempel diantara kedua lubang memek Teh Widya. Aku tekan dengan tenaga ekstra namun tetap perlahan.
“Sayang.., pelan.. pelan-pelan.. o.. ohh, pelan Sayang”.
Teh Widya mulai meracau lagi. Perlahan tapi pasti, aku dorong kontolku menyeruak Masug dianta lubang surga yang basah milik Teh Widya. Dan tidak lama kemudian.., “Bleesskk” kepala dan leher kontolku Masuk. Lalu langsung aku tekan sedalam mungkin hingga pangkal kontolku.
“Aoohh.., Willy.., aahh..!”, Teh Widya mendesah bersamaan dengan aku menahan nafasku.
Aku tahan sejenak kontolku didalam memek Teh Widya. Aku tengok sedikit kebawah nyatanya kontolku terbukti sangatlah habis hingga kepangkalnya, hanyut tidak bersisa di telan lorong sempit dan hangat itu.
“Ayo Sayang.. perbuat apa yang kalian mau.., aku pasrah sama kalian Sayang..!”, kata Teh Widya.
Aku tahan dulu supaya aku bisa merasakan kehangatan yang melingkupi rudalku. Teh Widya hanya memandangku dengan wajah ayunya. Kami berdua terus saling berpandangan.
“Wid.., alangkah cantiknya kalian Sayang.”, bisikku sambil mulai membawa kejantananku perlahan bersamaan dengan mata Teh Widya yang saat ini terpejam dan lehernyapun menengadah ke atas.
Aku tarik perlahan hingga sebatas leher kejantananku dan aku tekan lagi hingga hanyut lagi. Terus aku perbuat itu dengan perlahan namun teratur. Aku tarik.., aku tekan.. tarik.. tekan.. terus begitu. Akurasakan sekali kenikmatan yang tiada tara. Dengan gaya misionaris begini, membikinku bisa menciumi Teh Widya dari mulai leher, pipi, teliga, dan bibir. Kami berdua saling menjilat, saling mengulum, saling mencium dan kadang saling menggigit satu sama lain. Aku terus menggerakkan pantatku naik turun, jadi kejantananku tetap keluar masuk di dalam memek Teh Widya.
Kedua tangan Teh Widya memelukku erat-erat. Kadang sesekali, jari-jemarinya mencakar punggungku, kadang membelai, dan kadang mencubit nakal pantatku. Entah berapa lama, gaya ini kami perbuat terus. Akhirnya aku mengambil inisiatif. Aku lepaskan pelukan Teh Widya. Kemudian aku sedikit menegakkan tubuhku jadi aku dan Teh Widya membentuk aspek 45 derajat. Aku angkat kedua kaki Teh Widya, dan aku letakkan di bahuku Masing-masing. Kedua tanganku menahan beban tubuhku ke tempat tidur. Saat ini pompaku berjalan agak sedikit lebih cepat.
“Ah.. ohh.. wowww.. aduh Sayang.., terus Sayang..teruuss..!”
Teh Widya meracau terus yang membikinku terus gila. Keringat kami mulai bercucuran deras. Teh Widya hanya bisa meremas-remas bedcover ku. Aku pompa terus memek Teh Widya.
“Crop.. chop.. chop.. chop..!”
Suara yang dihasilkan dari kehangatan memek Teh Widya dan genjotan Kontolku membikin suasana menjadi terus hangat. Aku rasakan surga yang amat sangat. Alangkah kontolku serasa di kempot-kempot dan serasa bakal dihisap kedalam lubang surga Teh Widya. Rasa hangat yang sumbernya hanya di kemaluanku saat ini mulai menjalar ke tubuhku. Memek Teh Widya ibaratkan mesin sex yang sempurna. Kontolku serasa di pijit-pijit, di sedot, di tekan, dan kadang dengan gerakan pantat Teh Widya seakan kontolku di putar didalam memek Teh Widya. Gerakanku mulai kencang dan bertambah kencang. Tapi aku tetap wajib mengendalikan nafsuku. Aku ingin bidadari didepanku terpuaskan. Makin kencang.. dan makin kencang.., terus.. dan terus..
“Willy.. Sayang.., heg.. heg.. heg.. ah.., ah.., heg.. heg..!”
Nafas Teh Widya terus memburu dibarengi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Tidak lama kemudian..
“Sayang.. aahh..!”, Teh Widya berteriak panjang, aku hentikan sesaat genjotanku.
“Ahh..!”
Aku rasakan sekali ada sesuatu yang sangat hangat, bahkan sedikit panas menyelimuti kemaluanku. Kontolku serasa ada yang menyiram di dalam memek Teh Widya. Oh.., rasa hangat itu membikinku gila. Aku denyut-denyutkan kontolku.
“Ahh, Sayang.. jangan gitu dong, geli..!”, Teh Wid mulai berkata lagi.
“Copot dulu ya.. sebentar aja..!”, kata Teh Widya.
“Hehehehe.., keluar ya..?”, tanyaku sambil bercanda.
“He-eh, aku keluar.. tapi pengen lagi..!”, kata Teh Widya.
Aku tarik rudalku perlahan. Ketika aku tarik aku lihat seluruh tahap kontolku basah. Dan.., “Plop..!” Kepala kemaluanku keluar dari memek Teh Widya. Teh Widya bangkit dan langsung menungging memamerkan keindahan lubang surgawinya. Rambutnya yang hitam panjang itu teruarai hingga ke kasur. Meningkatkan keindahan si wanita sempurna ini.
“Ayo Sayang, aku telah siap lagi neh..!”, katanya.
Aku hampiri lubang itu dengan berjalan memakai kedua lututku. Sesampainya aku di dekat lubang kenikmatan itu, aku tidak langsung menghujamkan batangku, aku ingin menikmati dulu sesaat pemandangan terindah yang sempat aku lihat. Aku menonton sesuatu yang sangat mengagumkan diantara dua buah bongkahan pantat Teh Widya.
Pantat Teh Widya yang begitu putih, mulus, padat dan berisi itu menjepit sesuatu ditengahnya. Sesuatu yang sangat ranum berwarna merah muda. Aku dekati mulutku kearah lubang yang terjepit itu. Aku keluarkan lidahku dan aku selipkan lidahku diantara lubang itu. Teh Widya menggoyangkan pantatnya.
“Ahh.., Masukin dong Sayang..!”, pintanya.
Sebelum aku menghujamkan lagi kontolku. Aku kecup dulu dengan mesra memek Teh Widya. Alangkah Teh Widya terbukti pintar menjaga kewanitaannya. Memeknya tidak tidak sama dengan memek seorang bayi, kencang, rapat, mulus dan halus, hanya ditambah bulu-bulu yang sangat halus dan tipis bagaikan sutra yang membikinnya tampak lebih indah “Cleb..!” Aku hujamkan kembali batang kebanggaanku itu. Teh Widya sedikit merintih. Dari belakang sini, aku memompa kontolku lagi keluar masuk memek Teh Widya. Posisiku yang berada dibelakang membikinku bisa jelas menonton penisku keluar masuk cepat ke lubang vaginanya, dan saking pasnya, terkesan bibir vagina Teh Widya itu berminat keluar setiap batangku kutarik keluar dan seakan tersedot melipat kedalam setiap aku dorong penisku ke dalam.
“Agghh, shh.. ohh.. hegghh..!”, Teh Widya meracau terus.
Gerakanku yang makin liar dan cepat membikin buah dada Teh Widya terpental-pental.
“Shh.., enak Sayang.. ah.., enak.., Sayang.. Willy .., terus.., terus.., ohh..uhh!”, sSuaranya kian tidak berirama.
Kedua tanganku memegang erat pinggulnya yang terbukti sangatlah indah dan pas itu. Kedua tanganku luar biasa dan mendorng pinggulnya, jadi tenaga genjotan di pantatku sedikit lenih ringan.
“Duh.., Sayang..!”, ucap Teh Widya.
“Kenapa Wid, sakit?”, tanyaku.
“Nggak, nggak pa-pa koq.., terusin deh Sayang..!”, pintanya.
“Habis punya Teh Widya sempit sekali sih..!”, kataku.
“Ah.., punya kalian aja yang terlalu nakal.”, katanya.
Akhirnya kuangkat paha kiri Teh Widya, supaya lubang surgawinya terbuka sedikit lebih lebar. Aku perbuat lagi tugasku, luar biasa dan menghujam memeknya yang telah sangat basah. Sesekali tangan Teh Widya menahan perutku supaya laju genjotanku tidak terlalu keras dan cepat. Tapi tetap saja desahannya menandakan sebaliknya.
Tangannya menahan perutku tapi desahannya..
“Ayo Sayang terus, terus.., lebih cepat Sayang.., terus.., ohh. teruuss..!”
“Plak.. plak.. plak..!”, suara benturan antara pantat Teh Widya dan selangkanganku membikin suasana terus gaduh ditambah suara desahan kami berdua, dan suara tempat tidur yang juga ikut bergoyang hebat.
“Udah dulu Sayang..!”, Teh Widya mendorong perutku kuat-kuat hingga kontolku terlepas dari memek surganya. “PLOP..!”
Aku heran setengah mati, apa lagi yang bakal diperbuatnya. Teh Widya kemudian mendorongku supaya aku telentang, dan.., oh.., aku mengerti, sang bidadari yang baru turun dari surga itu ingin di atas dan ingin memegang kendali. Aku menurut saja. Dirinya mengangkangi tubuhku dan menggenggam penisku. Penisku yang telah sangat merah itu dibimbingnya memasuku gerbang kenikmatan surgawi. “Bles..!” masuk telah penisku ke dalam lubang vaginanya. Teh Widya bergerak naik turun dengan kedua tangannya memegang dan meremas rambutnya sendiri. Kadang kedua tangannya menahan payudaranya yang terlempar dan terpental naik turun sesuai dengan gerakannya. Kepalanya sesekali menggeleng ke kanan dan kekiri jadi rambut indah sang bidadari itu menjadi acak-acakan.
Aku hanya diam total, aku biarkan Teh Widya bergerak dan menari sepuas dan sesukanya. Kontolku yang terbukti telah memerah terus terasa hangat. Nikmatnya jepitan dan buaian memek Teh Widya membikinku kadang meremas bedcover juga. Teh Widya bergerak naik dan turun juga maju dan mundur. Tapi ada satu gerakan Teh Widya yang paling aku suka dan aku takuti, yaitu gerakan “Memutar”. Setiap Teh Wid memutar pantatnya, aku merasakan sensasi yang teramat sangat nikmat di kontol dan di sekujur tubuhku, aku suka tapi.., aku takut aku bakal keluar dengan tutorial itu.
“Willy.. ssaayang.. akk.. akk.., aku.., kk.., kke.. ll.., kke.. keluar.., aahh..!”
Teh Widya berteriak menahan orgasmenya yang ketiga. Ketika proses orgasme itu berjalan aku dorong pantatku ke atas dan aku benamkan seluruh batang pelerku dan aku denyutkan di dalam liang surga Teh Widya. Faktor ini meningkatkan kenikmatan orgasmenya Teh Widya. Teh Widya rubuh seketika dan kepalanya kepalanya menyentuh dadaku, namun dengan kontolku tetap tertanam di dalam memeknya.
“Ahh.. Sayang.. aku keluar..!”
“Kamu belum ya..!”, aku hanya tersenyum.
Aku suka dirinya orgasme sampe tiga kali. Aku biarkan sesaat sang bidadari itu tergeletak di dadaku.
“Kamu tetap kuat Sayang..?”, tanya Teh Widya dan aku tetap terdiam sambil tersenyum.
“Eh.., kalo di tanya jawab dong..!”, katanya dan tetap aku terdiam sambil tersenyum dan mengerdipkan mataku. “Aduh.. jawab dong.., ayo dong jawab..!”, ujarnya.
Aku tidak lagi menjawab sepatah katapun. Aku bangkit dari posisi semula. Tangan kananku memeluk punggung Teh Widya sedangkan tangan kiriku menolongku bergerak ke sampng tempat tidur.
“Sayang.. mau kemana?”, tanyanya.
Aku tetap terdiam, kemudian kurebahkan Teh Widya di bibir tempat tidur. Aku angkat kaki kanannya dan aku letakkan di bahuku denga tangan kiriku menahannya, sedangkan kaki kirinya aku biarkan jatuh ke bawah.., terkesan olehku itilnya yang kecil dan mungil iti. Jari jemari tangan kanankupun menyentuh kacang surga itu. Dan genjotankupun di mulai. Aku terus menggenjot terus lama terus cepat dan tidak teratur sambil jempol tangan kananku mempermainkan itilnya terus.
“Ah.., Sayang.., kalian luar biasa Sayang.., terus..terus..!”, Teh Widya mulai meracau lagi.
“Oughh, ah.., jangan berhenti ahh terus..!”, desahan telah menjadi teriakan kecil.
“Kamu keluar kini yah Sayang, aku nggak kuat..!”, katanya.
“Keluar ya Sayang.., ahh.., keluar donk..!”, ujarnya.
“Crop.. crop.. crop..!”, suara kocokan kontolku ke memek Teh Widya terus cepat.
Berbagai menit telah berlalu. Aku terus gila dan gila. Teh Widya telah tidak lagi memintaku segera keluar. Teriakannya telah berubah.
“Sayang.., terus Sayang.., aku mau keluar lagi”, kata Teh Widya.
“Tunggu Sayang.., hh,.., mm.., kami keluar bareng ya..!”, kataku.
“Aku kk.., keeluarin dd.., di luar apa di dalem Sayang?”, tanyaku dengan nada dan intonasi yang telah tidak keruan lagi.
“Di dalem aja Sayang.., dd.., ddi dalem .., ddi yang pp.. paling dalem ss.. sSayang”, kata Teh Widya.
Gerakan pompaku terus cepat, buas dan ganas disertai denyutan kontolku yang terus cepat denyutannya. Kempotan Memek Teh Widya terasa lebih keras dan lebih menyedot dari yang tadi. Kerakan kami berdua telah sangat tidak teratur sama sekali. Namun gabungan ketidak teraturan itu membikin kami terus gila.
“Aku mmau kkeluar Sayang..!”, Teh Widya menatapku dengan menyeringai.
“Ttahan dulu Sayang, aku sebentar lagi koq..!”, kataku.
“Ohh.., ah.., fftt.., ohh.., hegg.. hegg.., hegg..!”
Telah tidak ada lagi sebuat katapun yang bisa keluar dari mulut kami berdua. Yang keluar hanyalah desahan surga dan teriakan kenikmatan yang tiada tandingannya. Aku lihat Teh Widya mulai menggeleng-gelengkan kepalanya keras sekali semacam orang yang sedang triping. Aku tahu, sesaat lagi pasti Teh Widya orgasme lagi. Aku makin mempercepat gerakanku, dan akhirnya..
“Uuaahh..!”, kami berdua berteriak lumayan keras.
Aku tekan dan aku dorong pinggulku jadi kontolku benag-benar hanyut ke memek nya. Kontolku berdenyut dengan sendirinya tidak terkendali dan kempotan Teh Widyapun sangat terasa sekali. Kemaluan kami berdua berdenyut dengan cara reflek dan tidak terkendali lagi. Spermaku tumpah ruah didalam memeknya disertai cairan hangat memek Teh Widya. Cairan puncak kenikmatan surgawi kami saling berjumpa dan bercampur. Entah berapa lama tubuh kami berdua mengejang hebat. Ujung rambut hingga ujung kaki kami seraca mengeras dan mengejang. Sang bidadari membawa kepalanya sambil menyeringai dan berteriak. Aku menengadahkan kepalaku sambil menahan kenikmatan yang muncul.
Dengan sisa tenagaku yang penghabisan.., aku membungkukkan badanku dan kucium dia. Dirinya membalas ciumanku seadanya. Tapi dirinya sempat memberbagi senyuman manisnya padaku. Aku ckeluarkan penisku dari lubang surganya. Tampak olehku penisku begitu basah dengan kepala yang sangat memerah. Kulihat juga alangkah lubang memek Teh Widya begitu basah dan aku perhatikan ada sedikit spermaku yang putih kental semacam mutiara itu menempel pada klitorisnya. Dengan tenagaku yang penghabisan aku angkat tubuhnya dan ku rebahkan di atas tempat tidur. Aku pun merebahkan tubuhku. Aku luar biasa selimut putih yang ada di dekatku. Nyatanya Teh Widya tetap sanggup bergerak. Dirinya memelukku dengan senyuman kepuasan dan ketersanjungan.

Dia memelukku dan mengusap dadaku. Seusai bibir kami berciuman, Teh Widya kemudian meletakkan kepalanya di dadaku sambil tangan kirinya mengusap-usap dadaku. Tangan kiriku pun melingkari dan memeluknya. Kami berdua tersenyum..dan tidak lama kemudian. Kami tertidur didalam selimut putih di kamarku. Kami terlalu lelah seusai meperbuat perjalanan kesurga dan akhirnya kami pun mereguk puncak kenikmatan surgawi bersama. Aku pun heran.., dari mana datangnya pikiran itu.., aku mulai merasa tidak bakal bisa berpisah dari Teh Widya.. istri sepupuku, dan sesaat seusai itu aku dengar bisikan yang amat halus dan kecil dari bibir sang bidadari yang matanya telah terpejam.., “Willy, I love you..!” – 
Share: