388cash388cash

Cerita Sex: Mama Lupa Jemput


Aku membesarkan putipsu seorang diri. Seorang remaja pemarah, pemilik darah ayahnya. Bisa kusimpulkan begitu sebab aku merasa sebagai seorang wanita yg lemah lembut. Tidak jarang aku mengalah dan memberi apa yg putipsu mau demi keutuhanku dan dia.

Sempat ketika, aku janji. Jemput anakku, pulang sekolah. Tp aku lupa. Teringat bakal sifatnya yg pemarah membikin aku langsung bergegas ke sekolahnya. Kucari dan rutin kucari, nyatanya sedang di kantin sekolah, ngobrol bersama kawan – kawan. Saat anakku melihatku datang, anakku seolah meniupku. Seusai itu dirinya tampar aku. Aku belum sempat melihat dirinya semarah ini sebelumnya.

Aku terkejut bakal reaksiku yg bahkat tdk melawan, membantah alias mencoba menghentikannya. Aku hanya menundukan kepala dan mencari alasan. Sikapku ini rupanya membikin dirinya tidak berkenan, memarahiku dan menjewer telingaku. Telingaku semakin dijewer dan aku diseret hingga ke mobilku. Aku tidak mencoba menghentikannya. Yg kuperbuat hanyalah mengikuti dan merintih menahan sakit di telinga.

Melalui tempat sampa, anakku menghentikan langkah. Dirinya memerintahkanku supaya melepas cdku dan melemparkan ke tempat sampah tersebut.
“Tp Na, …” aku mencoba berdebat.

Tetapi telingaku malah dijewer makin keras. Hingga aku terpaksa berjinjit. Aku terbukti pendek, kira – kira seratus lima puluh centimeter. Sedang anakku kira – kira seratus delapan puluh centimeter. Benar – benar semacam ayahnya. Anakkk kembali menyuruhku.

Sekali lagi aku menuruti perintahnya dgn mudah. Kuturunkan cd dari rokku hingga pergelangan kaki. Dirinya melepas telingaku, aku membungkuk utk mengambil cdku. Saat aku membungkuk, anakku membawa rokku, hingga semua yg melihat pasti melihat pantatku. Aku lantas membuang cdku disertai tawa dari orang – orang. Seusai itu, anakku menyeretku lagi ke mobil. Kuharap amarah anakku bakal reda dlm perjalanan pulang. Tetapi nyatanya malah mengomel semakin. Dirinya jg bilang bahwa aku mesti dipukul begitu hingga di rumah. Kurasa anakku sedang bercanda.
Kami hingga di rumah. Tetapi sebelum masuk, anakku menyuruhku melepas semua pakaian.
“Tp Na …” aku mencoba lagi. Hasilnya, anakku menamparku lagi. Pipi kiri dan kanan. Aku lantas menuruti perintahnya, membikinku terkejut alangkah mudah aku menurut. Aku menangis terisak.
Di dlm, aku disuruh berdiri menghadap dinding. Kudengar putipsu semacam sedang sibuk, tetapi aku tidak berani menoleh.
“Sini!” perintahnya.
Aku lantas mengikutinya ke kamar tidurku. Aku ketakutan saat melihat apa yg ada di kasur. Di kasur tersedia sisir, bet pingpong, pemukul kasur dan pecut hiasan dinding. Aku gugup, aku mencoba menenangkannya tetapi malah membikinnya meraih putingku, meremas dan memutarnya hingga aku menjerit kesakitan. Aku bakal biarkan saja putipsu memukulku, barangkali bakal reda amarahnya seusai itu.
Putipsu menyuruhku berbaring di kasur. Di tengah kasur tersedia selimut dan diatas selimut tersedia bantal. Aku berbaring di atasnya membikin pantatku semacam terangkat. Lantas putipsu mengikat tangan dan kakiku dan tali itu diikat ke kaki ranjang membikinku tidak berdaya dan semacam huruf X.
Putipsu mengambil sisir dan langsung memukulkannya pada pantatku. Seusai berbagai pukulan, aku menangis dan meminta belas kasihnya. Tetapi efeknya berbanding terbalik dgn yg kuharap. Putipsu malam memukulkan sisir makin menjadi. Saat pukulan berhenti, air mataku jatuh tidak tertahankan. Tetapi putipsu langsung mengganti sisir dgn bet pingpong dan kembali menampar pantatku. Rasanya semacam seratus tahun aku dipukuli hingga berhenti. Pantatku serasa terbakar panas. Suara yg terdengar di kamarku hanyalah tangisanku dan suara nafas putipsu yg berat.
Berbagai saat kemudian putipsu mengambil pemukul kasur. Saat dipukul aku menjerit shok. Hingga saat putipsu berhenti, seusai berbagai menit baru aku bisa menenangkan diri. Tetapi begitu, aku tidak hentinya menangis.
Putipsu meninggalkan kamar dan perlahan aku berhenti menangis. Seusai berbagai saat, putipsu kembali. Kucoba berbalik melihat apa yg bakal putipsu perbuat. Tp aku disuruh semakin menatap ke depan. Putipsu mendorong pantatku. Sebelum aku menyadari betul apa itu, sesuatu sudah masuk terpasang di anusku. Aku pasti saja kembali menjerit.
Lantas putipsu memasukan dildo ke meqiku, yg anehnya sdh basah, dan mulai mengentotku dgn dildo itu. Putipsu jg mengocok sumbat anus sambil mengocok dildo. Reaksi yg kuterima benar – benar mengejutkanku. Nyatanya aku hampir keluar. Saat putipsu menyadarinya, dirinya tertawa lantas menghentikan aksinya. Putipsu kembali memukul pantatku, membikin orgasmeku yg hampir datang kembali menjauh.
Putipsu kembali ngocok dildo dan sumbat anus semacam sebelumnya, tetapi saat aku bakal keluar putipsu menghentikan kocokan lantas memukul pantatku. Putipsu berbagai kali mengulangi faktor itu membikinku frustasi.
“Kalau lu mau keluar lu mesti minta sama gw!” perintah putipsu.
Aku mendadak lupa sopan santun, martabat dan kehormatan. Aku sungguh ingin keluar.
“Oh Na, biarin mami keluar,” aku memohon.
Putipsu tertawa. Seusai itu dirinya kembali ngocok dildo dan sumbat anus hinga aku keluar. Seusai aku keluar, putipsu berangkat tanpa melepas dildo dan sumbat anus.
Aku dibiarkan sendiri entah selagi berbagai saat. Mukin satu jam kemudian putipsu kembali lantas mencabut dildo dan ikatanku. Tetapi sumbat anus tetap terpasang. Aku yakin putipsu sudah puas. Tetapi rupanya putipsu menyuruhku berbalik. Aku lantas terlentang. Pantatku kembali terasa sakit sebab luka pukulan tadi.
Putipsu lantas memegang pecut. Aku bahkan lupa mengenai itu. Putipsu lantas memecut toketku dgn pecut hiasan utk dinding. Bahkan berbagai kali mengenai putingku. Perutku pun tidak luput dari cambukannya. Semakin pahaku hingga aku kembali berair mata.
Putipsu lantas naik ke kasur dan berdiri di atasku. Diantara kakinya tersedia tubuhku. Apa yg bakal dirinya perbuat, aku bertanya – tanya. Putipsu lantas menyeret ujung pecut hingga mengenai meqiku. Aku lantas menyadari mana yg bakal dicambuk.
“Jangan Na, jangan,” teriakku panik.
Sia – sia sdh, aku berteriak. Sepuluh pecutan membikinku berteriak sambil nangis memohon belas kasihnya.
“Sekarang siapa yg merintah di rumah ini?” tanyanya.
Aku bingung, apa yg wajib aku katakan. Beri aku ide… beri aku ide…
Putipsu kembali mencambuku sepuluh kali, lantas mengulangi pertanyaannya.
Aku tidak ingin dicambuk lagi, lantas kujawab, “kamu Na, kalian yg merintah di rumah ini.” Aku tidak tahu apakah jawabanku benar. Tetapi itulah satu – satunya yg bisa kupikirkan.
Putipsu tertawa puas. Aku yakin jawabanku benar.
“Siapa yg bakal ngelakuin apa yg gw perintahkan?”
Aku tidak langsung menjawab. Dampaknya aku kembali dipecut sepuluh kali. Aku berteriak,
“mama yg bakal ngelakuinnya.” Hatiku melara – lara, terbukti begini maunya. Aku menjawab supaya gak dicambuk lagi.
Putipsu melepas cambuk dari genggaman tangannya, membuka sleting celana jin dan melepas celananya dan cdnya. Seusai itu dirinya berlutut di atas wajahku. Dirinya menjambak rambutku dan mengatakan,
“jilat meqi gw anjing.” Putipsu hebat kepalaku ke meqinya.
Aku tidak sempat menjilati meqi sebelumnya. Aku ragu – ragu walau mulai menjilatinya. Tetapi aku ingin menyenangkannya, jadi kujilat sebisaku. Rupanya jilatanku lumayan keren sebab tidak mala kemudian putipsu teriak bakal segera keluar. Putipsu menekankan meqi ke kepalaku begitu dlm hingga aku tidak bisa bernafas. Aku takut mati lemas. Aku lega saat akhirnya putipsu melepaskan tangan di kepalaku. Ada sedikit kebanggaan bisa memuaskannya.
Putipsu lantas duduk di sampingku dan kembali mengambil pecut. Aku merasa ngeri takut dicambuk lagi. Tetapi putipsu malah memkabarhuku aturan baru rumah ini. Mulai kini aku hanya boleh menggunakan pakaian serba pendek/mini, semacam rok mini, daster mini, celana pendek. Satu – satunya rambut yg boleh tumbuh hanyalah yg ada di atas kepalaku, lain dari pada itu tdk boleh ada. Tidak hanya itu, aku jg wajib jadi tempat pembuangan putipsu dan kawan – kawannya kapan pun dan di mana pun. Aku setuju dan ikatanku dilepas.
Kurasa esok bakal kembali normal.
Perlakuanku rupanya bukan emosi sesaat putipsu. Esok paginya seusai aku buang air besar, sumbat anus kembali dipasangnya dan aku disuruh membuang semua pakaianku. Nyatanya tdk semua, aku diizinka menggunakan kaos yg begitu ketat. Bahkan hampir tidak bisa menutupi meqiku. Sebelum sekolah, putipsu mengambil semua uangku, bahkan membawa mobilku. Yg lebih kurang baik lagi, aku disuruh menemuinya di sekolah. Aku merasa ngeri memikirkan jalan ke sekolahnya, menggunakan kaos ketat pendek.
“Tp Na, mami tidak bisa berangkat hanya menggunakan ini,” kataku lemah.
Sebelum aku menyadari apa yg terjadi, putipsu sudah duduk di kursi, luar biasaku hingga ke pangkuannya dan mulai memukul pantatku. Sisa pukulan kemari tetap sakit, ditambah sekarang, pasti makin sakit lagi. Aku lantas menangis dan memohon semacam anak kecil. Putipsu tidak memperlihatkan belas kasihnya, malah semakin memukulku hingga akhirnya aku minta maaf sebab tidak menurut. Putipsu lantas tertawa dan melepaskanku yg langsung jatuh ke lantai.
Putipsu meninggalkanku menangis lalu duduk di kursi terdekat. Aku sdh lupa bakal sumbat anus membikinku terkejut saat pantatku duduk di kursi. Aku angkat kembali pantatku dan menurunkannya pelan. Aku menangis mengasihani diri dan mencoba memahami apa yg terjadi pada diriku.
Kupikir aku tidak mematuhinya saja, tidak menggunakan kaos ketat, tidak ke sekolahnya, kucabut sumbat anus yg tidak enjoy ini. Tp rasa sakit dampak sumbat anus itu membikinku tidak punya keberanian. Aku benar – benar pengecut. Perlahan aku bangkit dan mulai meperbuat apa yg diperintahkan.
Berbagai saat kemudian, lemari pakaianku sudah kosong. Aku terisak putus asa sambil melihat lemari kosongku. Aku lantas putuskan utk ke sekolah Ana. Aku bahkan tidak menggunakan rok alias sesuatu utk menutupi meqiku.
Entah bagaiamana aku sukses hingga ke sekolah anakku tanpa tidak sedikit diketahui orang. Walau wajib mengendap – endap, sungguh tidak enjoy rasanya jalan dgn anus tersumbat. Aku pasti tidak langsung melihat Ana.
Aku diam menantikan putipsu timbul utk naik mobil, tetapi tidak timbul jua. Akhirnya aku mesti ke masuk ke sekolahnya utk mencarinya. Untungnya sekolah sdh lengang, hanya ada satu alias lima murid. Tetapi walau begitu mereka melihat apa yg kupakai. Pasti mereka menyadari apa yg terkesan. Berbagai murid mengejek dan bahkan memgambarku. Aku jadi benci hp berkamera.
Aku langsung ke kantin dan mendapati putipsu di sana sedang ngobrol bersama kawan – kawan. Putipsu menatapku dgn arogan, aku langsung tahu sedang berada dlm keadaan berbahaya. Dirinya tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menunjuk lantai di sampingnya.
Aku tidak tahu apa maksudnya, jadi aku hanya berdiri kebingungan. Sebab kesal, anakku meraih rambutku dan luar biasanya ke lantai hingga aku berlutut semacam anjing di sampingnya. Aku bersuara dampak sakit dan takut. Mendengar suaraku kawan – kawannya hanya tertawa. Mereka mungkin bahagia melihatku, yg sdh dewasa, diperperbuat semacam ini. Yah setdknya dgn berlutut, meqiku tidak terkesan orang lain.
Tetapi Ana lantas menyadarinya. Dirinya lantas memerintahkanku melebarkan paha selebar – lebarnya. Menyadari bakal terkesannya meqi membikinku memohon pada putipsu supaya tidak meperbuat ini. Tetapi nyatanya permohonanku dijawab tamparan pipi hingga aku menagis. Kaos pendekku saat ini semacam terangkat hingga sepinggang. Kawan – kawannya tertawa mengikik. Aku sangat malu dan terhina.
Seorang guru timbul di kantin. Aku rasa Ana bakal menyuruhku menutup meqiku supaya tidak timbul persoalan. Tetapi nyatanya berbanding terbalik dgn apa yg kukira. Putipsu melambai ramah pada guru membikin guru itu datang menghampiri. Guru itu lantas menatapku dgn angkuh.
“Kamu benar Na, pelacur itu pasti sange abis pose kayak gitu.”
Ana tersenyum dan balas bicara,
“Oh ya! Kayaknya bener – bener sange nih pelacur. Bener gak?”
Aku tetap tercengang bimbang apa yg wajib ku jawab. Aku tetap belum terbiasa dgn semua ini. Aku ragu – ragu utk menjawab hingga pipiku kembali mendapat tamparan membikinku terkejut hingga jatuh.
“Lu terangsang gak? Jawab anjing!”
Aku tidak ingin ditampar lagi lantas aku kembali berlutut dan menjawab,
“saya tdk tahu Na … Nyonya.” Aku hampir lupa kalau aku mesti terbuktigil putipsu Nyonya, dan terbuktigil diriku dgn saya.
“Saya tdk tahu?” dengus putipsu.
“Pegang meqilu, basah gak? Dasar pelacur terbukti bodoh.”
Aku malu mendengarnya, apalagi mendengar tawa mencemooh. Kuraih meqiku dan mersa takjub mendapati kenyataan meqiu basah. Bagaimana bisa aku terangsang dlm keaadan semacam ini? Tp aku benar – benar basah dan tidak tahu kenapa.
“Gimana?” tanya putipsu.
Aku bingung, aku tidak mau memkabarhu orang lain kalau meqiku basah tp di segi lain aku tidak ingin ditampar lagi. Aku menghela nafas dlm dlm dan mengaku sambil berbisik, “ya nyonya, saya basah.” Putipsu semacam tidak lebih puas dgn jawabanku membikinku mengulangi kata – kataku dgn agak keras hingga terdengar orang – orang.
Semuanya tertawa membikinku jadi lebih malu. Walau aku bertanya – tanya kok bisa?
“Pelacur ini terbukti lucu, kapan – kapan boleh pinjem gak?” tanya guru.
“Boleh, tp kalau sdh terlatih.”
Terlatih? Aku bertanya – tanya maksud dari kata – kata putipsu. Tetapi aku sadar sebentar lagi pasti kuketahui. Ana lantas menggunakankan kalung dan memasang tali ke kalung itu. Ana hebat tali dan aku merangkak mengikutinya di belakang hingga ke mobil. Rasanya sungguh memalukan, tp lebih baik terhinda daripada dipukuli. Di segi lain aku tetap shok bakal kenyataan alangkah meqiku basah.
Tiga orang kawan Ana mengikuti kami. Aku pun diperintah utk terbuktigil mereka nyonya. Ana memebuka bagasi dan menyuruhku masuk ke sana. Aku bahagia aku dulu tidak membelik mobil pick up. Sekali lagi aku menyerah dan mengikuti perintahnya. Seusai itu kudengar Ana dan kawan – kawannya naik dan mobil pun melaju. Seusai berbagai saat, mobil berhenti dan putipsu membuka bagasi. Kami berada di sebuah tempat parkir.
Kami naik lift dan masuk ke sebuah tempat tempat semacam salon. Kami ditemui seorang pelayan wanita yg berbadan subur. Putipsu menyuruhku melepas kaos. Aku meperbuatnya dan berdiri telanjang. Aku lantas duduk dikursi dan diikat.
“Ya, pertama kami mesti menyingkirkan ini,” kata pelayan sambil hebat jembutku.
“Bener, biar kayak kimcil, belum berbulu,” jawab putipsu terdengar antusias.
“Mau tutorial biasa alias menyenangkan? Membahagiakan bagi kami pastinya.”
“Menyenangkan bagaimana?” tanya putipsu penasaran.
Pelayan meraih jembutku dan luar biasanya. Aku teriak kesakitan. Semacamnya setiap orang di toko mendengar suaraku sebab seusai itu aku dikerubuti orang – orang. Sambil tertawa, pelayan, putipsu dan tiga kawannya bergantian hebat paksa jembutku disertai teriakanku. Orang – orang yg melihat terkesan bahagia hingga meqiku benar – benar botak. Pelayan lantas mengambil suntikan. Aku jadi khawatir dan memohon padanya. Tetapi sia – sia, begitu disuntik aku langsung tertidur.
Perlahan-lahan aku bangun, mencoba mengingat apa yg sudah terjadi. Pusingku belum hilang. Aku melihat cermin dan melihat diriku. Rambutku dikuncir, meqiku tidak berjembut. Postur tubuhku yg kecil mengubahku dari seorang bunda menjadi semacam seroang gadis kecil. Putipsu lantas timbul membawa pakaian. Aku terkejut melihat pakaiannya adalah pakaian yg biasa digunakan oleh gadis – gadis, buka oleh bunda – ibu. Melihatku yg semacam enggan membikin putipsu menunjuk dinding. Di dinding itu sudah tersedia cambuk dan tongkat yg menempel. Hanya dgn ancaman saja sdh membikinku menggunakan pakaian.
Kami kembali ke dlm toko di mana kawan putipsu dan pelayan menantikan. Mereka memuji putipsu dan adik kecilnya yg lucu.
Hari – hari berlalu. Putipsu tidak jarang membikinku bersenggama dgn kawan – kawan lelakinya. Aku merasa sangat malu berhubungan badan dgn abg sementara putipsu dan kawan – kawannya melihat.
Putipsu bahkan mengirimku ke jalan tempat bersarang pelacur – pelacur terjangkau meriah. Aku diwajibkan pulang membawa uang dlm jumlah tertentu. Aku tahu putipsu tidak begitu memerlukan uang itu, putipsu menyuhuku hanya utk memperlihatkan siapa yg memegang kendali.
Tetapi yg lebih memalukan adalah saat putipsu dan ketiga sahabatnya menyenggamaiku. Ya, mereka menggunakan alat bantu, semacam celana dlm, tetapi di cd itu terpasang dildo yg berkapasitas agak besar. Pasti aku tidak boleh keluar. Tetapi sayangnya aku keluar jg, membikin putipsu menghukum meqiku.
Baru – baru ini putipsu semacam mengadakan perayaan di rumah. Aku diikat hingga berlutut dgn pantat membusung ke atas. Mereka lantas menyodomi pantatku dgn cd dildo berbagai kali. Walau sakit dan sungguh sangat merasa terhina, nyatanya sangat susah utk menahan diri supaya tdk keluar. Untungnya mereka memutuskan aku layak keluar.
Tetapi rupanya aku wajib keluar dgn tutorial masturbasi. Mereka bahkan mulai bertaruh berapa kali aku keluar dlm tempo yg sesingkat – singkatnya, yaitu tiga puluh menit.
Memalukan sekali rasanya masturbasi di hadapan kurang lebih dua puluh abg yg matanya fokus melihat. Delapan kali aku keluar. Pemenangnya nyatanya Aisah, seorang gadis tomboy dgn perawakan kecil. Dirinya terkesan sangat gembira.
Esoknya kembali normal, aku disuruh berpakaian layaknya abg, semacam adik baginya. Aku benar – benar benci. Entah ke mana aku di bawa, hingga hinggalah aku ke sebuah rumah tua, semacam peninggalan kumpeni dgn halaman yg luas. Datang abg menyambut dan memeluk putipsu. Dari pelukan dan ciumannya, bisa kulihat mereka tidak layaknya seorang kawan biasa. Aku jadi sedikit cemburu. Di segi lain aku jadi malu melihat segi lembut dan cinta putipsu.
Aku tidak tahu mesti ngapain saat kedua abg itu semakin pelukan sambil ciuman. Lantas kuputuskan utk melihat sekeliling. Lantas kusadari ada seorang wanita di belakang gadis yg mencium putipsu. Dirinya terkesan sama semacamku. Bahkan menggunakan pakaian yg sama. Selintas, kami semacam kembar. Selagi berbagai saat kami bertatapan, lantas dirinya tersenyum malu. Apa yg terjadi pada dirinya, apa yg terjadi pada diriku. Siapakah dia?
Putipsu lantas menghentikan pelukannya dan melihat kami yg lantas menunduk. Wanita lain yg semacamku lantas menyambut putipsu, “Nyonya Ana,” katanya lantas berlutut. Untungnya aku sudah mendengar siapa yg mencium putipsu. Aku lantas berlutut dan bicara, “Nyonya Sandra.” Aku merasa putipsu merasa bangga dan Sandra terkejut. Tetapi pasti aku tidak melihat sebab aku menunduk.
Ana mengetukkan kaki kanannya yg adalah tanda kalau aku wajib mengikutinya. Aku bangkit diikuti abg yg semacamku. Tetapi kuperhatikan Sandra belum menyentukkan kaki. Semacamnya sengaja, aku lantas berbisik, “belum dulu,” pada sebelahku. Dirinya kembali berlutut sementara aku melangkah mengikuti putipsu.
Putipsu dan Sandra menoleh melihatku patuh di belakang putipsu sedang gadis lain tetap berlutut di tempatnya. Saat ini Sandra menyentakkan kaki lantas kudengar gadis lain lari hingga saat ini di sebelahku. Aku merasa tangannya mencari tanganku, lantas kuraih dan kami bergandgn tangan. Kami bergandgn tangan semacam putipsu dan Sandra. Semacamnya kami terkesan semacam kawan kecil yg lucu.
Di dlm, aku berusaha melihat – lihat. Nyatanya ruang tamunya sangat besar. Kami hingga ke ruang lain, yg tidak kalah mengesankannya.
“Lu tau mesti kemana,” Sandra mengatakan,
“bawa dia!”
“Ya nyonya,” jawabnya lantas luar biasaku.
Aku terkejut di bawa ke ujung dinding, di sana ada pintu tersembunyi. Di dlm, kami tetap berdiri sambil tetap berpegangan tangan. Ingin kubertanya, hatiku melara – lara, tetapi aku takut kami belum diizinkan bicara.
Seusai berbagai saat, dirinya mulai berlutut, sambil tetap memegang tanganku, lantas luar biasaku hingga aku ikut berlutut. Dirinya tidak mau mepas tangannya. Bahkan dirinya saat ini mendekat padaku. Kini, dirinya melepas tangan dan menaruhnya di pahanya, aku mengikutinya. Saat ini tubuh bersentuhan. Aku baru mengalami semacam ini, jadi aku hanya diam saja.
Berbagai saat kemudian kedua nyonya kami masuk dan tersenyum melihat kami duduk. Mereka lantas menyuruh berdiri dan melepas pakaian. Sandra datang bawa tiga sepatu highheel, bukan tiga pasang. Sepatu ketiga bentuknya lebih besar. Lantas sepatu ketiga itu diisi kaki kanan gadis kecil dan kaki kiriku. Kaki itu tingginya kira – kira sepaha. Lantas sletingnya ditarik hingga pas. Aneh rasanya bersepatu bersama orang lain.
Ketatnya sepatu membikinku mesti ikut gerak andai kakinya gerak. Begitu pula sebelumnya. Belum sempat aku menggunakan sepatu dgn hak dengan tinggi ini, hingga membikinku semacam berjinjit.
Belum berakhir, lantas aku melihat sebuah korset aneh. Semacam korset ganda. Kami digunakankan korset dan saat ini terkesan aneh, dlm korset itu tubuh kami menyatu pinggang ke pinggang. Korsetnya ditarik hingga membikinku susah bernafas. Tangan kiriku diletakan di pinggulnya, begitu jg dgn tangan kanannya.
Kini aku hanya bisa menggunakan tangan kanan, gadis sebelahku menggunakann tangan kiri. Saat ini terkesan kami semacam kembar siam. Dgn tiga kaki, dua kepala dan dua lengan. Kedua nyonya terkesan sangat bahagia hasilnya lantas memperhatikan kami.
Tanpa peringatan, putipsu memecut meqiku. Aku menangis kesakitan, di segi lain aku mencoba menjaga keseimbangan supaya tidak jatuh.
“Oh iya, aku lupa,” kata Sandra lantas tertawa dan melihat kami. Mungkin terkesan jelas warna merah di tempat putipsu memecutku. “Keren nih, tp kayaknya ada yg tidak lebih.”
Aku bisa merasakan gadis ini menggigil tetapi aku berusaha supaya tetap seimbang. Aku meringis kesakitan saat putipsu memecut putingku. Gadis ini jg menangis saat putingnya dipecut Sandra. Lantas keduanya mengelilingi kami dan memecut. Yg kutau, kami rutin dipecut di tempat yg sama. Kami semakin mengejang dan meringis tetapi tetap berusaha menahan keseimbangan. Akhirnya kami menghela nafas lega saat pecutan berhenti.
Kemudian para nyonya ngobrol, apakah kami mesti dipukul bareng alias satu -satu. Mereka lantas mesti coba, lantas mereka memukul kami satu – satu. Untungnya sdh agak sebanding hingga tidak jatuh.
Putipsu mulai bicara lagi,
“kayaknya kaliang ingin dekat semakin ya?”
Aku tahu putipsu punya pemikiran lain dan tidak peduli apa pun jawaban kami. Setdknya tidak sempat meperbuat apa yg kukatakan. Jadi kujawab asal saja,
“iya nyonya, saya sangat ingin.” Gadis ini pun rupanya mempunyai pemikiran yg sama jadi menjawab semacam jawabanku.
“Keren. Sebab mulai kini, lu tinggal kayak gini,” kata Sandra sambil tertawa,
“lu mesti jalan, ngomong dan mikir sama – sama. Ngelakuin sama – sama. Lu adalah satu. Mungkin kami terkesan semacam bingung, berbagai waktu lalu kami tidak saling kenal, tetapi saat ini mesti diikat bersama.
“Kalau kalian salah, dua – duanya dihukum. Kalau satu salah, keduanya jg dihukum.”
“Tp itu gak adil,” gadis ini mulai bicara.
“Siapa yg bilang keadilan?” putipsu angkat bicara lantas memecut susuku. Sandra meperbuat faktor yg sama.
Gadis ini lantas memohon belas kasih diantara tangisnya.
“Lu ngerti gak?” Sandra mulai emosi.
“Ya nyonya, saya minta maaf,” jawab gadis ini terisak.
“Sentuh meqiu?” Sandra kembali merintah.
Gadis bodoh, pikirku. Dirinya lantas memegang selangkangannya. Tiba – tiba pipi kami ditampar.
“Maaf nyonya,” gadis itu kembali bicara.
Lantas tangannya saat ini memegang meqiku, yg nyatanya basah. Aku bertanya – tanya kenapa meqiu basah padahal apa yg kuperbuat ini sangat kubenci.
“Nah …”
“Basah nyonya.”
Aku jg disuruh menyentuh meqi gadis ini, yg nyatanya sama basahnya dgnku.
“Ini jg basah nyonya,” kataku.
“Lu dua pelacur sange. Gw gak cuma ngehukum lu bareng. Apabila salahsatu dari lu lumayan bego buat bertdk alias keluar tanpa izin, maka yg gak salah bakal dihukum ganda.”
Tak adil terbukti, tp aku tahu mereka bakal meperbuat apa saja utk membikin kami keluar. Kami hanya menjawab,
“Ya nyonya.” sebab pasti kami tidak berani protes.
Mereka menuju pintu dan menyuruh kami mengikuti. Perlahan – lahan hingga menuju ruang kosong yg lumayan lega. Aku bertanya – tanya utk apa di sini.
“Kalian latihan di sini, latihan jalan, nunduk dan lainnya,” kata Ana.
Sandra menunjuk sebuah tombol yg letaknya lumayan tinggi. Semacamnya susah utk kujangkau, “saat udah yakin bisa, tekan tombol itu, biar kami datang semakin cek.”
“Iya nyonya,” jawab kami patuh, walau bimbang tutorial utk meraihnya.
Cocok sebelum mereka berlangsung keluar pintu mereka, mereka berbalik, lantas Ana mengatakan, “Mah, ini adik, dik ini mama. Jangan males belajarnya, sebab kami bisa lihat dan dengar kalian. Paham?” Lantas mereka tertawa dan meninggalkan ruang.
Kami melihat satu sama lain.
“Hai dik,” bisikku lalu mulai memeluknya pelan.
“Mending kami mulai.”
Adik tersenyum,
“iya mah.”
Kami coba berdiri dgn pelbagai pose. Tetapi saat bergerak, perlu waktu lama utk menyesuaikan diri. Apalagi latihan jalan. Belum sempat kucoba sesuatu yg sesusah ini. Kami jalan terhuyung – huyung semacam sedang mabuk. Jg kami berlatih berlutut dan murangkak.
Di dinding ada gambari Ana dan Pipit, tangannya memegang papan bertuliskan ‘air.’ papan itu mempunyai panah yg menunjuk pada gambar meqinya. Di gambar meqi itu tersedia celah. Sebab kami sangat haus, kami berlutut dgn kepala agak ke depan lantas menjilati celah.
Satu detik kemudian kami menjerit terkejut, lidah kami serasa kena setrum. Kami saling pandang ngeri. Apakah ini tutorial baru utk menyiksa kami? Tetapi segera aku yakin, setrum ini bukan tanpa tujuan. Seusai keterkejutanku reda, kulihat adik hampir pingsan. Bisa makin berabe nih. “Kita mesti bareng,” teriakku sadar. Lantas kami coba lagi bareng, berbagai kali kena kejut tetapi akhirnya bisa jg memuaskan dahaga kami.
Kami semakin latihan, jalan, lari, merangkak, berlutut.
Para nyonya datang bersama berbagai gadis lain. Mereka membawa meja dan bangku. Kami bergidik melihat bangku itu. Di bangku itu tertancap empat dildo yg, apabila kami duduk, bisa dipastikan bakal menancap. Tetapi kekhawatiran kami seakan sirna, sirna itu sempurna, saat melihat mereka jg membawa makanan. Selagi proses tata menata, para nyonya memaki dan memukul gadis – gadis malang itu. Jelas keduanya sama – sama pemarah.
“Lu siapin itu,” kata Ana sambil mengangguk ke dildo.
Aku pasti paham maksudnya. Aku mesti menjilati dildo itu hingga basah. Aku meremas pelan adik lantas kami bergerak, berlutut dan menghisap dildo hingga para nyonya puas dan menyuruh kami duduk. Sebab tidak bisa melihat dildo, kami duduk pelan – pelan. Para nyonya pasti tidak sabar dan langsung menekan tubuh kami sambil tertawa.
Di meja tersedia satu piring, satu garpu dan satu pisau.
“Ingat, lu dan lu adalah satu,” kata mereka lantas pergi.
Di piring tersedia daging. Adik mengambil garpu dan menusuk daging.
“Potong,” katanya. Aku mengambil pisau dan memotongnya. Irisan daging adik masukan ke mulutku. Proses diulangi, tetapi hari ini daging dimakan adik. Begitu semakin hingga habis.
Seusai itu para nyonya datang dan menyuruh kami ikut. Dgn agak susah, kami bangkit dan bergegas mengikuti mereka. Sepatu dan korset kami dibuka, tetapi kami belum berani menjauh.
Kami di bawa ke ruang lain yg hanya berisi kotak hitam besar. Sandra menekan sebuahtombol lantas setengah kotak tahap atas terbuka menampilkan sesuatu yg sangat mengejutkan. Tersedia dua dildo. Hitam, dildonya hitam tetapi besar ukurannya.
Kami disuruh menaiki dildo itu ke anus. Aku menangis sambil mengerang hingga akhirnya tertancap seluruhnya. Seusai itu aku disuruh berbaring.
Pada adik, dirinya semakin memohon belas kasih sambil meperbuatnya. Pasti itu percuma. Seusai berakhir, adik menangis di sampingku.
Sandra menyumat hidungku hingga tidak bisa bernafas lewat hidung. Kubuka mulutku utk bernafas. Sandra menekan saklar lain dan sesuatu tiba – tiba timbul dan memasuki meqiku. Tdk semacam dildo, entahlah sebab aku tidak bisa lihat.
Bagian atas kotak tiba – tiba mulai menutup kembali. Di atapnya tersedia dildo lain, pasti utk mulut kami. Aku takut mesti menghabiskan malam di dlm kotak. Dildo di meqiku mulai menggelitik. Hingga kusadari semacam berlistips. Dildo mulut itu masuk ke mulut hingga semacam mentok.
“Tangki di memelu, kalau penuh bakal memompa isinya ke mulut lain. Jadi kalau lu kencing, yg lain mesti minum airnya,” kata Sandra.
Seusai kotak tertutup rapat, cahaya menjadi sirna. Aku susah bernafas. Lenganku bergerak mencari lengan adik hingga tangan kami berpegangan.
Share: