388cash388cash

Cerita Sex: Dokter Sandra


 San… hei aku jaga nich malam ini, elu jangan kirim pasien yang aneh-aneh ya, aku mau bobo, begitu pesanku ketika terdengar telepon di ujung sana diangkat.

“Udah makan belum?” suara merdu di seberang sana menyahut.
“Ciee… illeee, perhatian nich”, aku menyambung serta, “Bodo ach”, lalu terdengar tuutt… tuuuttt… tuuut, rupanya telepon di sana telah ditutup.

Malam ini aku bisa giliran jaga di bangsal robek sedangkan di UGD atau Unit Gawat Darurat ada dr. Sandra yang jaga. Nah, UGD kalau telah malam begini jadi pintu gerbang, jadi seluruh pasien bakal masuk via UGD, kelak baru dibagi-bagi atau diputuskan oleh dokter jaga bakal dikirim ke tahap mana para pasien yang butuh dirawat itu.

Syukur-syukur sih bisa ditangani langsung di UGD, jadi tidak butuh merepotkan dokter bangsal. dr. Sandra sendiri wajib aku akui dirinya lumayan terampil serta pandai juga, tetap sangat muda kurang lebih 28 tahun, cantik menurutku, tidak terlalu tinggi kurang lebih 165 cm dengan bodi sedang ideal, kulitnya putih dengan rambut sebahu.

Sifatnya lumayan pendiam, kalau bicara tenang seakan memberbagi kesan sabar tapi yang tidak jarang rekan sejawat jumpai yaitu ketus serta judes apalagi kalau lagi moodnya jelek sekali. Celakanya yang tidak jarang ditunjukkan, ya seperti itu. Gara-gara itu barangkali, hingga kini dirinya tetap single. Cuma dengar-dengar saja akhir-akhir ini dirinya lagi punya hubungan khusus dengan dr. Anton tapi aku juga tidak pasti.

Kira-kira jam 2 pagi, kamar jaga aku diketuk dengan lumayan keras juga.
“Siapa?” tanyaku tetap agak malas untuk bangun, sepet benar nih mata.
“Dok, ditunggu di UGD ada pasien konsul”, suara dibalik pintu itu menyahut, oh suster Lena rupanya.
“Ya”, sahutku sejurus kemudian.

Sampe di UGD kulihat ada berbagai pria di dalam ruang UGD serta sayup-sayup terdengar suara rintihan halus dari ranjang periksa di ujung sana, sempat kulihat sepintas seorang pria tergeletak di sana tapi belum sempat kulihat lebih jelas ketika dr. Sandra menyongsongku, “Fran, pasien ini jari telunjuk kanannya masuk ke mesin, parah, baru setengah jam sih, tensi oke, menurutku sih amputasi (dipotong, gitu maksudnya), gimana menurut elu?” demikian resume pendek yang diberbagi olehnya.
“San, elu makin cantik aja”, pujiku sebelum meraih status pasien yang diberbaginya padaku serta ketika aku berlangsung menuju ke tempat pasien itu, suatu  cubitan keras mampir di pinggangku, sambil dr. Sandra mengiringi langkahku jadi tidak terlalu lihat apa yang dirinya perbuat. Sakit juga nih.
Saat kulihat, pasien itu terbukti parah sekali, boleh dibilang hampir putus serta yang tertinggal cuma sedikit daging serta kulit saja.
“Dok, tolong dok… jangan dipotong”, pintanya kepadaku memelas.
Akhirnya aku panggil itu si Om gendut, bosnya siapa tahu serta seorang rekan kerjanya untuk mendekat serta aku berbagi arti ke mereka semua.
“Siapa nama Bapak?” begitu aku mengawali perbincangan sambil melirik ke status untuk memastikan bahwa status yang kupegang terbukti punya pasien ini.
“Praptono”, sahutnya lemah.
“Begini Pak Prap, saya mengerti keadaan Bapak serta saya bakal berusaha untuk mempertahankan jari Bapak, tetapi faktor ini tidak mungkin diperbuat sebab yang tersisa hanya sedikit daging serta kulit saja jadi tidak ada lagi pembuluh darah yang mengalir hingga ke ujung jari. Bila saya jahit serta sambungkan, itu hanya untuk sementara mungkin kurang lebih 2 – 4 hari seusai itu jari ini bakal membusuk serta mau tidak mau pada akhirnya wajib dibuang juga, jadi dikerjakan 2 kali.
Kalau kini kami perbuat hanya butuh 1 kali pengerjaan dengan hasil akhir yang lebih baik, saya bakal berusaha untuk seminimal mungkin membuang jaringannya serta pada penyembuhannya kelak diinginkan lebih cepat sebab lukanya rapih serta tidak compang-camping seperti ini”, begitu penjelasan aku pada mereka.
Kira – kira seperempat jam kubutuhkan waktu untuk meyakinkan mereka bakal perbuatan yang bakal kami perbuat. Seusai semuanya oke, aku minta dr. Sandra untuk menyiapkan dokumennya tergolong surat persetujuan perbuatan medik serta pengurusan untuk rawat inapnya, sementara aku siapkan peralatannya dibantu oleh suster-suster dinas di UGD.
“San, elu mau jadi operatornya?” tanyaku seusai semuanya siap.
“Ehm… aku jadi asisten elu aja deh”, jawabnya seusai terdiam sejenak.
Entah kenapa ruangan UGD ini mesikipun ber-AC tetap saja aku merasa panas jadi butir-butir keringat yang sebesar jagung bercucuran keluar khususnya dari dahi serta hidung yang mengalir hingga ke leher saat aku kerja itu. Untung Sandra memantau faktor ini serta sebagai asisten dirinya cepat tanggap serta berulang kali dirinya menyeka keringatku.
Huh… aku suka sekali waktu dirinya menyeka keringatku, soalnya wajahku serta wajahnya begitu dekat jadi aku juga bisa mencium wangi tubuhnya yang begitu menggoda, lebih-lebih rambutnya yang sebahu dirinya gelung ke atas jadi tampak lehernya yang putih berjenjang serta tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Sangatlah menggoda iman serta harapan.
Setengah jam kemudian beres telah tugasku, tinggal jahit untuk menutup luka yang kuserahkan pada dr. Sandra. Seusai itu kulepaskan sarung tangan sedikit terburu-buru, terus cuci tangan di wastafel yang ada serta segera masuk ke kamar jaga UGD untuk pipis. Ini yang membikin aku tidak tahan dari tadi ingin pipis. Daripada aku mesti lari ke bangsal robek yang lumayan jauh atau keluar UGD di ujung lorong sana juga ada toilet, lebih baik aku pilih di kamar dokter jaga UGD ini, lagi pula rasanya lebih bersih.
Saat kubuka pintu toilet (hendak keluar toilet), “Ooopsss…” terdengar jeritan kecil halus serta kulihat dr. Sandra tetap sibuk berusaha menutupi tubuh tahap atasnya dengan kaos yang dipegangnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyanya ketus.
“Aku habis pipis nih, elu juga kok nggak periksa-periksa dulu terus ngapain elu buka baju?” tanyaku tidak mau disalahkan begitu saja.
“Ya, udah keluar sana”, suaranya telah lebih lembut seraya bergerak ke balik pintu biar tidak kelihatan dari luar saat kubuka pintu nanti.
Ketika aku hingga di pintu, kulihat dr. Sandra tertunduk serta… ya ampun…. pundaknya yang putih halus terkesan hingga dengan ke pangkal lengannya, “San, pundak elu keren”, bisikku dekat telinganya serta semburat merah muda segera menjalar di wajahnya serta ia tetap tertunduk yang memunculkan keberanianku untuk mengecup pundaknya perlahan. Ia tetap terdiam serta segera kulanjutkan dengan menjilat sepanjang pundaknya hingga ke pangkal leher dekat tengkuknya. Kupegang lengannya, sempat tersentuh kaos yang dipegangnya untuk menutupi tahap depan tubuhnya serta terasa agak lembab. Rupanya itu alasannya dirinya membuka kaosnya untuk menggantinya dengan yang baru. Berkeringat juga rupanya tadi.
Perlahan kubalikkan tubuhnya serta segera tampak punggungnya yang putih mulus, halus serta kurengkuh tubuhnya serta kembali lidahku bermain lincah di pundak serta punggungnya hingga ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus serta kusapu dengan lidahku yang basah. “Aaaccch… ach…” desahnya yang pertama serta disusul dengan jeritan kecil tertahan dilontarkannya ketika kugigit urat lehernya dengan gemas serta tubuhnya sedikit mengejang kaku. Kuraba pangkal lengannya hingga ke siku serta dengan sedikit tekanan kuusahakan untuk meluruskannya sikunya yang dengan cara otomatis hebat kaos yang dipegangnya ikut turun ke bawah serta dari belakang pundaknya itu.
Kulihat dua buah gundukan bukit yang tidak terlalu besar tapi sangat menantang serta pada bukit yang sebelah kanan tampak tonjolannya yang tetap berwarna merah dadu sedangkan yang sebelah kiri tidak terkesan. Kusedot kembali urat lehernya serta ia menjerit tertahan, “Aach… ach… ssshhh”, tubuhnya pun kurasakan terus lemas oleh sebab terus berat aku menahannya.
Dengan tetap dalam dekapan, kubimbing dr. Sandra menuju ke ranjang yang ada serta perlahan kurebahkan dia, matanya tetap terpejam dengan guratan nikmat terhias di senyum tipisnya, serta dengan cara refleks tangannya bergerak menutupi buah dadanya. Kubaringkan tubuhku sendiri di sampingnya dengan tangan kiri menyangga beban tubuh, sedangkan tangan kanan mengusap lembut alis matanya terus turun ke pangkal hidung, mengitari bibir terus turun ke bawah dagu serta beres di ujung liang telinganya.
Senyum tipis terus menghias wajahnya serta beres dengan desahan halus disertai terbukanya bibir ranum itu. “Ssshhh… acchh…” Kusentuhkan bibirku sendiri ke bibirnya serta segera kami saling berpagutan penuh nafsu. Kuteroboskan lidahku memasuki mulut serta mencari lidahnya untuk saling bergesekan kemudian kugesekan lidahku ke langit-langit mulutnya, sementara tangan kananku kembali menelusuri lekuk wajahnya, leher serta terus turun menyusuri lembah bukit, kudorong tangan kanannya ke bawah serta kukitari putingnya yang menonjol itu.
Lima hingga tujuh kali putaran serta putingnya terus mengeras. Kulepaskan ciumanku serta kualihkan ke dagunya. Sandra memberbagi leher tahap depannya serta kusapu lehernya dengan lidahku terus turun serta menyusuri tulang dadanya perlahan kutarik tangannya yang kiri yang tetap menutupi bukitnya. Tampak saat ini dengan jelas kedua puting susunya tetap berwarna merah dadu tapi yang kiri tetap tenggelam dalam gundukan bukit. Feeling-ku, belum sempat ada yang menyentuh itu sebelumnya.
Kujilat cocok di area puting kirinya yang tetap terpendam malu itu pada jilatan yang kelima atau keenam, aku lupa. Puting itu mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu serta segera kutangkap dengan lidah serta kutekankan di gigi tahap atas, “Ach… ach… ach…” suara desisnya terus menjadi serta hari ini tangannya juga mulai aktif memberbagi perlawanan dengan mengusap rambut serta punggungku.
Sambil terus memainkan kedua buah payudaranya tanganku mulai menjelajah area yang baru turun ke bawah melewati jalur tengah terus serta terus menembus batas atas celana panjangnya sedikit tekanan serta kembali meluncur ke bawah menerobos karet celana dalamnya perlahan turun sedikit serta segera tersentuh bulu-bulu yang sedikit lebih kasar. “Eeehhhm… ech…” tidak diteruskan tapi bergerak kembali naik menyusuri lipatan celana panjangnya serta hingga pada area pinggulnya serta segera kutekan dengan agak keras serta mantap, “Ach…” pekiknya kecil pendek seraya bergerak sedikit liar serta membawa pantat serta pinggulnya.
Segera kutekan kembali lagi pinggul ini tapi hari ini kuperbuat keduanya kanan serta kiri serta, “Fran… ugh…” teriaknya tertahan. Aku kaget juga, itu kan artinya Sandra sadar siapa yang mencumbunya serta itu juga berarti dirinya terbukti memberbagi peluang itu untukku. Matanya tetap terpejam hanya-hanya kadang terbuka. Kutarik restleting celananya serta kutarik celana itu turun. Mudah, oleh sebab Sandra terbukti mengharapkannya juga, jadi gerakan yang diperbuatnya sangat menolong.
Tungkainya sangat proporsional, kencang, putih mulus, pasti dirinya memeliharanya dengan baik juga oleh sebab dirinya juga kan berasal dari keluarga kaya, kalau tidak salah bapaknya salah satu pejabat tinggi di bea cukai. Kuraba paha tahap dalamnya turun ke bawah betis, terus turun hingga punggung kaki serta dengan cara tidak terduga Sandra meronta serta terduduk, dengan nafas memburu serta tersengal-sengal, “Fran…” desisnya tertelan oleh nafasnya yang tetap memburu.
Kemudian ia mulai membuka kancing bajuku sedikit tergesa serta kubantunya lalu ia mulai mengecup dadaku yang bidang seraya tangannya bergerak aktif hebat retsleting celanaku serta luar biasanya lepas. Langsung saja aku berdiri serta melepaskan seluruh bajuku serta kuterjang Sandra jadi ia rebah kembali serta kujilat mulai dari perutnya. Sementara tangannya ikut mengimbangi dengan mengusap rambutku, ketika aku hingga di selangkangannya kulihat ia menggunakan celana berwarna dadu serta terkesan belahan tengahnya yang sedikit cekung sementara pinggirnya menonjol keluar mirip pematang sawah serta ada sedikit noda basah di tengahnya tidak terlalu luas, ada sedikit bulu hitam yang mengintip keluar dari balik celananya.
Kurapatkan tungkainya lalu kutarik celana dalamnya serta kembali kurentangkan kakinya seraya aku juga melepas celanaku. Saat ini kami sama berbugil, kemaluanku tegang sekali serta lumayan besar untuk ukuranku. Sementara Sandra telah mengangkang lebar tapi labia mayoranya tetap tertutup rapat. Kucoba membukanya dengan jari-jari tangan kiriku serta tampak suatu  celah kecil sebesar kancing di tengahnya diliputi oleh seperti daging yang berwarna pucat demikian juga dindingnya tampak berwarna pucat meski lebih merah dibandingkan dengan tahap tengahnya. Gila, rupanya tetap perawan.
Tak lama kulihat segera keluar cairan bening yang mengalir dari celah itu oleh sebab telah tidak ada lagi hambatan mekanik yang menghalanginya untuk keluar serta banjir disertai baunya yang khas makin terasa tajam. Baru saat itu kujulurkan lidahku untuk mengusapnya perlahan dengan sedikit tekanan. “Eehhh… ach… ach… ehhh”, desahnya berkepanjangan. Sementara lidahku mencoba untuk membersihkannya tetapi banjir itu datang tidak tertahankan. Aku kembali naik serta menindih tubuh Sandra, sementara kemaluanku menempel di selangkangannya serta aku telah tidak tahan lagi kemudian aku mulai meremas payudara kanannya yang kenyal itu dengan kekuatan lemah yang makin lama makin kuat.
“Fran… ambilah…” bisiknya tertahan seraya menggoyangkan kepalanya ke kanan serta ke kiri sementara kakinya diangkat tinggi-tinggi. Dengan tangan kanan kuarahkan torpedoku untuk menembak dengan cocok. Satu kali gagal rasanya melejit ke atas oleh sebab licinnya cairan yang membanjir itu, dua kali tetap gagal juga tetapi yang ketiga rasanya aku sukses ketika tangan Sandra tiba-tiba memegang erat kedua pergelangan tanganku dengan erat serta desisnya seperti menahan sakit dengan bibir bawah yang ia gigit sendiri. Sementara batang kejantananku rasanya mulai memasuki liang yang sempit serta membuka sesuatu lembaran, sesaat kemudian seluruh batang kemaluanku telah tertanam dalam liang surganya serta kaki Sandra pun telah melingkari pinggangku dengan erat serta menahanku untuk bergerak. “Tunggu”, pintanya ketika aku ingin bergerak.
Berbagai saat kemudian aku mulai bergerak mengocoknya perlahan serta kaki Sandra pun telah turun, mulanya biasa saja serta respon yang diberbagi juga tetap minimal, sesaat kemudian nafasnya kembali mulai memburu serta butir-butir keringat mulai tampak di dadanya, rambutnya telah kusut basah makin mempesona serta gerakan mengocokku mulai kutingkatkan frekuensinya serta Sandra pun mulai bisa mengimbanginya.
Makin lama gerakan kami terus seirama. Tangannya yang pada mulanya diletakkan di dadaku saat ini bergerak naik serta akhirnya mengusap kepala serta punggungku. “Yach… ach… eeehmm”, desisnya berirama serta sesaat kemudian aku makin merasakan liang senggamanya makin sempit serta terasa makin menjempit kuat, gerakan tubuhnya makin liar. Tangannya telah meremas bantal serta hebat kain sprei, sementara keringatku mulai menetes membasahi tubuhnya tetapi yang kunikmati saat ini merupakan kenikmatan yang makin meningkat serta luar biasa, lain dari yang kurasakan selagi ini melewati masturbasi.
Makin cepat, cepat, cepat serta akhirnya kaki Sandra kembali mengunci punggungku serta luar biasanya lebih ke dalam bersamaan dengan pompaanku yang terbaru serta kami terdiam, sedetik kemudian.. “Eeeggghhh…” jeritannya tertahan bersamaan dengan mengalirnya cairan nikmat itu menjalar di sepanjang kemaluanku serta, “Crooot… crooot”, memberbaginya kenikmatan yang luar biasa. Sebaliknya bagi Sandra terasa ada semprotan kuat di dalam sana serta memberbagi rasa hangat yang mengalir serta berputar serasa terus menembus ke dalam tiada berujung. Beres telah pertempuran tetapi kekakuan tubuhnya tetap kurasakan, demikian juga tubuhku tetap kaku.
Sesaat kemudian kuraih bantal yang tersisa, kulipat jadi dua serta kuletakkan kepalaku di situ seusai sebelumnya bergeser sedikit untuk memberinya nafas supaya beban tubuhku tidak menindih paru-parunya tetapi tetap tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat senyum puasnya tetap mengembang di bibir mungilnya serta tubuhnya terkesan mengkilap licin sebab keringat kami berdua.
“Fran… thank you”, sesaat kemudian, “Ehmmm… Fran aku boleh tanya?” bisiknya perlahan.
“Ya”, sahutku sambil tersenyum serta menyeka keringat yang menempel di ujung hidungnya.
“Aku… gadis keberapa yang elu tidurin?” tanyanya seusai sempat terdiam sejenak. “Yang pertama”, kataku meyakinkannya, tetapi Sandra mengerenyitkan alisnya. “Sungguh?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Betul… keperawanan elu aku ambil tapi perjakaku juga elu yang ambil”, bisikku di telinganya. Sandra tersenyum manis.
“San, thank you juga”, itu kata-kata terbaruku sebelum ia tidur terlelap kelelahan dengan senyum puas tetap tersungging di bibir mungilnya serta batang kemaluanku juga tetap belum keluar tapi aku juga ikut terlelap.
Share: