388cash388cash

Cerita Sex: Nilai Sex Plus Pak Zaim


Tepat jam 4 aku tiba di rumah Pak Zaim, Sore itu aku memakai pakaian kemeja berkancing yang agak kebesaran, untuk menutupi menonjolnya payudaraku, serta celana jins yg tidak terlalu ketat, tentu tak lupa juga BH dan celana dalam. Sementara Pak Zaim tampak santai, memakai kaos berlengan dan celana panjang biasa. Pak Zaim langsung duduk di sebelahku, dan menjelaskan kondisiku. Dengan jebloknya nilai ulangan-ulanganku, mulai sekarang aku harus berusaha sangat keras supaya bisa lulus.

“Kamu mengerti situasimu kan?” tanya Pak Zaim.
“Sudah lama Bapak ingin merasakan memek mu yang wangi, tidak disangka hari ini kamu menyerahkan diri,” ujarnya sambil tertawa keras selagi tetap memegangi mulut dan kedua tanganku.

“Kamu nggak usah macam-macam, layani saja Bapak, maka kamu nggak perlu mengkhawatirkan nilai-nilaimu yang jeblok itu. Kalo sampai kamu menjerit atau berontak terlalu keras, maka Bapak jamin kamu tidak akan lulus, ok?” tambahnya lagi.

Saat itu aku sungguh-sungguh tidak tahu harus berbuat apa karena belum pernah menghadapi situasi seperti ini dalam hidupku. Tiba-tiba Pak Zaim dengan cepat melepas kacamataku dan menaruhnya di meja sebelah.

Kemudian tangan kirinya menarik rambutku dan menciumi bibirku yang mungil dengan kasar, sementara tangan kanannya meremas-remas payudaraku yang sebelah kiri dengan gemasnya sehingga kemejaku mulai awut-awutan. Karena kedua tanganku sudah tidak dipegangi lagi, sempat terlintas di pikiranku untuk memukuli Pak Zaim, namun ancaman tidak lulus membuatku sangat takut dan tidak berani melakukannya. Aku hanya berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.

Kemudian Pak Zaim melepaskan ciumannya, dan kedua tangannya dengan segera memreteli kancing kemejaku satu-persatu. Aku mulai menangis dan memohon untuk dilepaskan, tapi Pak Zaim tidak menghiraukan. Dengan kasar ia menyingkirkan kemejaku dan melemparkannya ke lantai. Setelah itu Pak Zaim dengan paksa melucuti celana jinsku. Tubuhku hanya tertutupi BH dan celana dalam saja, buah dadaku yang berukuran 38C terlihat sangat menonjol. Sekali lagi aku diterkamnya sehingga hanya bisa berbaring pasrah di sofa yang besar dan empuk itu. Pak Zaim kembali menciumi bibirku sementara kedua tangannya dengan ganas meremas-remas buah dadaku.
Zaim Kemudian Pak Zaim menyuruhku menurunkan CD-nya sampai kedua kakinya, sehingga kami berdua sama-sama telanjang bulat. Dibukanya kedua pahaku lebar-lebar dan Pak Zaim mengambil posisi di antaranya sambil memegangi senjatanya. “Pak, pelan-pelan ya? Punya Bapak besar sekali. Saya agak takut,” kataku saat itu.
“Ha ha ha ha.. nggak usah takut, pokoknya kamu pasti seneng,” jawabnya.
Pak Zaim juga memberitahuku nggak usah khawatir hamil, karena nantinya ia tidak akan mengeluarkan air maninya di memekku.
“Biar kayak di BF-BF itu Ayu,” katanya. Aku yang berbaring telentang menjawab dengan kepalaku, yang dialasi bantal empuk, mengangguk-angguk.
Aku menahan nafas saat Pak Zaim mulai memasukkan penisnya ke arah memekku yang sudah basah sedari tadi.
“Ohhh.. Pak..” jeritku kecil.
Rasanya bener-bener nikmat meski mungkin baru ujung penis Pak Zaim saja yang terbenam di memekku. Kulihat Pak Zaim mulai memompa dan memegangi penisnya keluar masuk dari memekku sehingga menggesek-gesek klitorisku yang makin basah. Aku sungguh-sungguh terbuai, dan kemudian dengan sekali sentakan kulihat separuh penis Pak Zaim masuk ke memekku.
“Ohhh.. Pak Zaim ..” desahku dengan nafas berat.
Kemudian Pak Zaim mengarahkan kedua tangannya ke arah gunung kembarku dan mulai meremas-remas dengan agak kasar, sambil memaju mundurkan penisnya keluar masuk memekku.
“Ohhh Pak Zaim ..” Aku sudah benar-benar lupa diri, yang ada di pikiranku saat itu hanyalah kenikmatan liar ini.
Kombinasi dari gesekan-gesekan penis Pak Zaim di memek dan klitorisku serta remasan-remasan kasar telapak tangannya di buah dadaku yang amat sensitif membuatku menjerit dan mendesah tidak karuan dengan liarnya.
Pak Zaim mulai memompa penisnya dengan lebih cepat. Sambil tangannya bertumpu dengan meremas-remas buah dadaku, Pak Zaim bergerak maju mundur sangat cepat dan kuat. Pandangan penuh nafsu Pak Zaim di wajahku kubalas dengan reaksi serupa. Mungkin karena basahnya memekku, kulihat saat itu Pak Zaim bisa memasukkan seluruh penisnya pada setiap sentakan. Kami berdua sudah sama-sama mandi keringat, apalagi urat-urat dan otot-otot di sekujur tubuh Pak Zaim jelas terlihat. Hanya suara desahan dan lenguhan liar bagaikan binatang dari kami berdua yang terdengar di kamar.
Akhirnya aku tidak tahan lagi, orgasmeku yang kedua datang. Aku menjerit sangat keras, dan Pak Zaim justru tambah mempercepat dan memperkuat gerakan serta remasannya. Tubuh mungilku terguncang hebat, sekali lagi dalam cengkeraman Pak Zaim. Kemudian dipeluknya tubuhku, kubalas pula dengan erat sehingga terasa keringat kami berdua saling bercampur. Pak Zaim tidak pernah berhenti memompa penisnya saat orgasmeku yang kedua itu berlangsung. Setelah klimaksku selesai beberapa saat kemudian, tubuhku tergolek lemas dalam posisi saling memeluk, sungguh kontras sekali perbedaan warna dari tubuh kami. Memekku dan penis Pak Zaim yang terbenam seluruhnya terasa sangat basah dan aku kesulitan mengatur nafasku di bawah tindihan tubuh Pak Zaim.
“Nikmat sekali kamu Ayu,” ujar Pak Zaim sambil tersenyum ke wajahku.
Kubalas lemah senyumannya sambil merasakan kenikmatan ini. Kuberanikan berbisik lemah,
“Bapak kok belum keluar?” Sambil tertawa-tawa, Pak Zaim menjawab,
“Kan sudah Bapak bilang nggak mungkin tak keluarin di memek kamu. Bapak sudah kepikiran tak keluarin pejuh Bapak di bagian tubuh kamu yang lain.”
“Di mana Pak?” tanyaku.
Pak Zaim hanya membalas dengan senyuman sambil melepaskan pelukannya dan bangkit dari atas tubuhku dan kemudian mengambil posisi duduk berjongkok di perutku.
Campuran keringat dan cairan memekku membuat Pak Zaim dengan mudah menggerakan penisnya di sepanjang belahan dadaku. Aku tidak pernah berhenti memijat, meremas, dan menjepit payudaraku sehingga kulihat mata Pak Zaim merem melek.
“Oh Ayu sayang..!” jerit Pak Zaim sesekali.
Gerakan Pak Zaim makin lama makin cepat, sementara aku juga menguatkan pijatan dan remasan. Karena payudaraku yang amat sensitif merasakan kerasnya penis Pak Zaim, kurasakan ledakan-ledakan kecil di memekku. Aku juga sering mendesah-desah tidak karuan.
Kuperhatikan dorongan penis besar Pak Zaim membuat ujungnya makin lama makin dekat ke daguku, kurasakan pula buah zakarnya bertabrakan dengan pangkal payudaraku dalam setiap dorongan yang dilakukannya. Dengan beralaskan bantal, kumajukan mulutku dan mulai memberikan jilatan-jilatan cepat liar setiap kali kepala penis Pak Zaim mendekat. Sekilas kulihat mata Pak Zaim terbelalak dengan keagresifanku ini.
“Kamu makin liar aja Ayu, Bapak bener-bener nggak tahan!” desahnya.
Dengan terampil kuberikan kenikmatan pada Pak Zaim, jilatan-jilatan lidahku pada ujung penisnya serta remasan-remasan payudaraku menggesek penisnya. Aku betul-betul ingin membalas semua kenikmatan yang sebelumnya diberikan Pak Zaim terhadapku, tidak peduli lagi status dan perbedaan usia kami. Gerakan dan ekspresi kami sudah seperti sepasang kekasih yang tidak mampu lagi menahan nafsunya atau mungkin layaknya dua bintang film porno.
“Oh Ayu sayang!” Pak Zaim akhirnya menjerit keras dan menghentikan gerakannya.
Penis Pak Zaim masih terjepit di antara payudaraku dan ujungnya persis dekat di depan bibirku yang sedikit menganga. Bersamaan dengan itu, air mani atau pejuh dari penis Pak Zaim muncrat! Tembakan-tembakan deras pejuh Pak Zaim membasahi dan lengket di sebagian besar wajah dan bibirku.
Share: